Masa akhir prasejarah
di Indonesia (Masa Logam), oleh H.R van Heekeren (1958) disebut “The
Bronze-iron Age”. Hal ini disebabkan tidak ditemukan artefak tembaga, sedangkan
artefak dari perunggu dan besi ditemukan bersma dalam konteks. R.P Soejono
menyebutkan Masa Perundagian. Kata
Perundagian diambil dari kata dasar undagi dari bahasa Bali.Undagi ialah seseorang atau sekelompok
atau golongan masyarakat yang mempunyai keterampilan jenis usaha tertentu. Dalam
masa perundagian ini teknologi berkembang dengan sangat pesat sebagai akibat
dari tersusunnya golongan-golongan dalam masyarakat yang dibebani pekerjaan
tertentu.
Di Asia Tenggara logam mulai dikenal kira-kira 3000-2000
SM. Pengetahuan tentang perkembangan logam ini lebih banyak dikenal setelah
pada tahun 1924 Payot mengadakan penggalian di sebuah kuburan di Dongson
(Vietnam). Dalam penggalian ini ditemukan berbagai macam alat perunggu, antara
lain nekara, bejana, ujung tombak, kapak dan gelang. Di Indonesia penggunaan
logam diketahui pada masa sebelum Masehi. Beberapa benda perunggu yang
ditemukan di Indonesia menunjukkan persamaan dengan temuan-temuan di Dong Son
(Vietnam), baik bentuk maupun pola hiasnya. Hal ini menimbulkan dugaan tentang
adanya hubungan budaya yang berkembang di Dong Son dengan di Indonesia.
Unsur yang penting dari artefak logam adalah nekara
perunggu. Nekara berbentuk seperti gendang terbalik (Soekmono, 2000: 64). Benda
ini dianggap sebagai drum sehingga disebut kettle
drum, metal drum, kettle gong, dan metal
trommeln. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, nekara merupakan gendang
dari perunggu yang berbentuk seperti dandang berpinggang di bagian tengah dan
selaput suaranya berupa logam. Nekara dianggap sebagai barang suci, karena
penggunaannya hanya pada waktu-waktu upacara-upacara saja. Nekara juga
berfungsi sebagai tempat kubur, alat tukar dan mas kawin. Nekara perunggu yang
ditemukan di Indonesia ada dua tipe yaitu Tipe
Pejeng dan Tipe Heger. Tipe Pejeng
diambil dari nama tempat ditemukannya nekara tipe ini yang besar dan pertama,
sedangkan tipe Heger diambil dari nama F. Heger yang mengklasifikasi nekara
ini.
Pada tahun 1705 Rumphius menyebutkan temuan sebuah nekara
perunggu yang sangat besar di Desa Pejeng, Gianyar. Nekara ini oleh penduduk
setempat disebut dengan nama “Bulan Pejeng”, dan dianggap sebagai roda bulan
yang jatuh ke bumi. Sekarang nekara tersebut disimpan di Pura Penataran Sasih,
Desa Pejeng, Gianyar ditempatkan di atas Palinggih.
Nekara tersebut diletakkan dalam posisi ditidurkan dengan bagian-bagian
sisinya dibawah. Nekara tersebut merupakan nekara terbesar di Indonesia, dengan
ukuran tinggi 186,5 cm, garis tengah bidang pukul 160 cm, dan tepi bidang pukulnya setebal 3 mm menjorok keluar
dari badan nekara selebar 25 cm. Bahu lurus ke bawah serta kaki mencembung pada
bagian tengah (pinggang), sedangkan di bagian ujung kaki melebar. Garis tengah
bagian kaki lebih besar daripada bagian pinggang.
Bagian atas terdiri dari atas bidang pikul dan bagian
bahu. Di tengah bidang pikul terdapat pola bintang dengan delapan sinar. Ruang
diantara kedepalan sinar tersebut berisi pola hias bulu ekor burung merak
dengan bulatan-bulata menonjol. Pola bintang dan bulu ekor burung merak ini
dikelilingi oleh garis-garis yang membentuk lingkaran. Bidang ini berisi pola
hias garis-garis yang disusun dalam empat buah pita melingkar yang berisi
garis-garis pendek, dan terkahir adalah pola-pola garis yang disusun sebagai
pita-pita bergelombang berisi garis-garis pendek dengan tonjolan-tonjolan yang
berjumlah 16 buah, beberapa diantaranya pada jarak tertentu dihubungkan oleh
garis-garis sejajar.
Bagian bahu terbagi dalam ruang-ruang horizontal yang
kosong dan berisi garis-garis melingkar. Ruang pertama kosong tanpa pola hias;
ruang kedua berisi susunan igir (richles)
yang berjumlah 11 buah; ruang ketiga kosong tanpa hiasan, hanya ada garis
melingkar yang tebal seolah sebagai penyambung serta enam buah lubang kecil;
ruang keempat berupa pita-pita yang berisi pola hias tangga, tumpal dan huruf
F; ruang kelima berisi empat buh pegangan yang bagian bawahnya telah rusak,
dan di antara pegangan-pegangan ini terdapat pola topeng yang seharusnya
berjumlah delapan buah. Topeng pada sisi utara telah rusak salah satu bagian
hidungnya, matanya digambarkan sangat menonjol dan dikelilingi oleh lingkaran,
di kiri kanan hidung terdapat bentuk segi empat yang solah-olah ditempelkan
menggambarkan pipi, sedangkan bagian mulut digambarkan berkumis dan berjenggot.
Telinga dilubangi dan diberi bandul yang menggambarkan giwang (bahasa Jawa) berupa bulatan-bulatan. Giwang ini digambarkan
berat sehingga lubang telinga menggelayut panjang.
Bagian tengah atau pinggang terbagi dalam dua bagian yaitu
bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas yang vertikal terletak dibawah
pegangan dan pola topeng, dan berisi pola tumpal huruf f. Bagian bawah
horizontal berisi pola tumpal yang berhadapan dengan pola huruf f. Dari bagian
pinggang ini terlihat bahwa pada waktu pembuatannya, nekara disambungkan pada
bagian ini. Bagian pegangan atau telinga terletak diantara bahu dan pinggang.
Pegangan berjumlah empat buah, kecuali yang ada dibawah, tiga buah lainnya masih
bagus; pola hiasnya berupa pola anyaman atau garis-garis silang yang sangat
rapat.
Bagian bawah atau kaki hanya diberi hiasan pada bagian
tepi bawahnya. Nekara yang diletakkan dalam posisi ditidurkan ini telah
mengakibatka bagian yang dibawah rusak berat. Bagian kaki sebagian sudah pecah.
Pola hias yang tampak adalah pola tumpal, garis-garis tegak, dan huruf f
(Heekeren dalam Poesponogoro & Notosusanto, 2011: 310).
Ardika, I Wayan (dkk).
2013. Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga
Modern. Denpasar : Udayana University Press
Kompiang Gede, I Dewa. 1992. Temuan Kapak Perunggu Di Jimbaran, Kab. Badung. Denpasar: Balai Arkeologi
Poesponegoro,
M.D. & Notosusanto, N. 2011. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid I Edisi Pemuktahiran. Jakarta : Balai Pustaka.
Soekmono, R. 1991. Sejarah Kebudayaan Indonesia 1.
Yogyakarta : Kanisius.
Sutaba, I Made. 1985. Mengenal Peninggalan-Peninggalan Purbakala
di Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral
Kebudayaan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar