Translate

Senin, 24 Oktober 2016

Nekara Bulan Pejeng Tinggalan Masa Perundagian

Masa akhir prasejarah di Indonesia (Masa Logam), oleh H.R van Heekeren (1958) disebut “The Bronze-iron Age”. Hal ini disebabkan tidak ditemukan artefak tembaga, sedangkan artefak dari perunggu dan besi ditemukan bersma dalam konteks. R.P Soejono menyebutkan Masa Perundagian. Kata Perundagian  diambil dari kata dasar undagi dari bahasa Bali.Undagi ialah seseorang atau sekelompok atau golongan masyarakat yang mempunyai keterampilan jenis usaha tertentu. Dalam masa perundagian ini teknologi berkembang dengan sangat pesat sebagai akibat dari tersusunnya golongan-golongan dalam masyarakat yang dibebani pekerjaan tertentu.

Di Asia Tenggara logam mulai dikenal kira-kira 3000-2000 SM. Pengetahuan tentang perkembangan logam ini lebih banyak dikenal setelah pada tahun 1924 Payot mengadakan penggalian di sebuah kuburan di Dongson (Vietnam). Dalam penggalian ini ditemukan berbagai macam alat perunggu, antara lain nekara, bejana, ujung tombak, kapak dan gelang. Di Indonesia penggunaan logam diketahui pada masa sebelum Masehi. Beberapa benda perunggu yang ditemukan di Indonesia menunjukkan persamaan dengan temuan-temuan di Dong Son (Vietnam), baik bentuk maupun pola hiasnya. Hal ini menimbulkan dugaan tentang adanya hubungan budaya yang berkembang di Dong Son dengan di Indonesia.

Unsur yang penting dari artefak logam adalah nekara perunggu. Nekara berbentuk seperti gendang terbalik (Soekmono, 2000: 64). Benda ini dianggap sebagai drum sehingga disebut kettle drum, metal drum, kettle gong, dan metal trommeln. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, nekara merupakan gendang dari perunggu yang berbentuk seperti dandang berpinggang di bagian tengah dan selaput suaranya berupa logam. Nekara dianggap sebagai barang suci, karena penggunaannya hanya pada waktu-waktu upacara-upacara saja. Nekara juga berfungsi sebagai tempat kubur, alat tukar dan mas kawin. Nekara perunggu yang ditemukan di Indonesia ada dua tipe yaitu Tipe Pejeng dan Tipe Heger. Tipe Pejeng diambil dari nama tempat ditemukannya nekara tipe ini yang besar dan pertama, sedangkan tipe Heger diambil dari nama F. Heger yang mengklasifikasi nekara ini.

Pada tahun 1705 Rumphius menyebutkan temuan sebuah nekara perunggu yang sangat besar di Desa Pejeng, Gianyar. Nekara ini oleh penduduk setempat disebut dengan nama “Bulan Pejeng”, dan dianggap sebagai roda bulan yang jatuh ke bumi. Sekarang nekara tersebut disimpan di Pura Penataran Sasih, Desa Pejeng, Gianyar ditempatkan di atas Palinggih. Nekara tersebut diletakkan dalam posisi ditidurkan dengan bagian-bagian sisinya dibawah. Nekara tersebut merupakan nekara terbesar di Indonesia, dengan ukuran tinggi 186,5 cm, garis tengah bidang pukul 160 cm, dan tepi  bidang pukulnya setebal 3 mm menjorok keluar dari badan nekara selebar 25 cm. Bahu lurus ke bawah serta kaki mencembung pada bagian tengah (pinggang), sedangkan di bagian ujung kaki melebar. Garis tengah bagian kaki lebih besar daripada bagian pinggang.

Bagian atas terdiri dari atas bidang pikul dan bagian bahu. Di tengah bidang pikul terdapat pola bintang dengan delapan sinar. Ruang diantara kedepalan sinar tersebut berisi pola hias bulu ekor burung merak dengan bulatan-bulata menonjol. Pola bintang dan bulu ekor burung merak ini dikelilingi oleh garis-garis yang membentuk lingkaran. Bidang ini berisi pola hias garis-garis yang disusun dalam empat buah pita melingkar yang berisi garis-garis pendek, dan terkahir adalah pola-pola garis yang disusun sebagai pita-pita bergelombang berisi garis-garis pendek dengan tonjolan-tonjolan yang berjumlah 16 buah, beberapa diantaranya pada jarak tertentu dihubungkan oleh garis-garis sejajar.

Bagian bahu terbagi dalam ruang-ruang horizontal yang kosong dan berisi garis-garis melingkar. Ruang pertama kosong tanpa pola hias; ruang kedua berisi susunan igir (richles) yang berjumlah 11 buah; ruang ketiga kosong tanpa hiasan, hanya ada garis melingkar yang tebal seolah sebagai penyambung serta enam buah lubang kecil; ruang keempat berupa pita-pita yang berisi pola hias tangga, tumpal dan huruf F; ruang kelima berisi empat buh pegangan yang bagian bawahnya telah rusak, dan di antara pegangan-pegangan ini terdapat pola topeng yang seharusnya berjumlah delapan buah. Topeng pada sisi utara telah rusak salah satu bagian hidungnya, matanya digambarkan sangat menonjol dan dikelilingi oleh lingkaran, di kiri kanan hidung terdapat bentuk segi empat yang solah-olah ditempelkan menggambarkan pipi, sedangkan bagian mulut digambarkan berkumis dan berjenggot. Telinga dilubangi dan diberi bandul yang menggambarkan giwang (bahasa Jawa) berupa bulatan-bulatan. Giwang ini digambarkan berat  sehingga lubang telinga menggelayut panjang.   

Bagian tengah atau pinggang terbagi dalam dua bagian yaitu bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas yang vertikal terletak dibawah pegangan dan pola topeng, dan berisi pola tumpal huruf f. Bagian bawah horizontal berisi pola tumpal yang berhadapan dengan pola huruf f. Dari bagian pinggang ini terlihat bahwa pada waktu pembuatannya, nekara disambungkan pada bagian ini. Bagian pegangan atau telinga terletak diantara bahu dan pinggang. Pegangan berjumlah empat buah, kecuali yang ada dibawah, tiga buah lainnya masih bagus; pola hiasnya berupa pola anyaman atau garis-garis silang yang sangat rapat.

Bagian bawah atau kaki hanya diberi hiasan pada bagian tepi bawahnya. Nekara yang diletakkan dalam posisi ditidurkan ini telah mengakibatka bagian yang dibawah rusak berat. Bagian kaki sebagian sudah pecah. Pola hias yang tampak adalah pola tumpal, garis-garis tegak, dan huruf f (Heekeren dalam Poesponogoro & Notosusanto, 2011: 310).




Ardika, I Wayan (dkk). 2013. Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar : Udayana                     University Press
Kompiang Gede, I Dewa. 1992. Temuan Kapak Perunggu Di Jimbaran, Kab. Badung. Denpasar:                     Balai Arkeologi 
Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. 2011. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I Edisi                                     Pemuktahiran. Jakarta : Balai Pustaka.
Soekmono, R. 1991. Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta : Kanisius.

Sutaba, I Made. 1985. Mengenal Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Daerah Bali. Departemen                 Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Suaka Peninggalan Sejarah dan               Purbakala Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar