Translate

Selasa, 04 Oktober 2016

Aspek Religi dalam Arca Bhairawa di Pura Kebo Edan


Pendahuluan
Kebudayaan masyarakat masa lampau merupakan catatan sejarah yang sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau pegangan hidup bagi masyarakat masa kini dan masa yang akan datang, sehingga perlu untuk tetap mempelajari dan mewariskannya (Koentjaraningrat, 2000: 186).
Persentuhan kebudayaan India dan Bali telah terjadi pada abad pertama Masehi. Orang-orang India datang ke Nusantara secara bertahap dan terus berlangsung  sampai abad ke-8 Masehi. Kedatangan mereka, membawa serta kebudayaan India antara lain dalam bentuk filsafat kesenian dan agama (Hindu dan Buddha). Kedua agama tersebut juga memiliki banyak paham yang dikembangkan para penganutnya antara lain paham Tantrayana. Jika dilihat jauh ke kebudayaan Lembah Indus, dasar-dasar paham tantra sudah terlihat, hal ini dapat dilihat dari adanya pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Pada abad ke-6 Masehi, paham Tantrayana mempengaruhi agama Hindu dan Buddha, kemudian berkembang di Nepal, Tibet dan Nusantara bahkan Bali.
 Paham ini sangat berkembang di Nusantara dalam beberapa abad antara lain di Jawa Timur, Sumatra dan Bali. Di Bali jejak-jejak paham tersebut masih tampak jelas dalam praktik-praktik kepercayaan Hindu, seperti tinggalan arca Bhairawa di Pura Kebo Edan, Pejeng, Gianyar, yang dapat diinterpretasikan sebagai ikon tantrayana.
Berkaitan dengan sarana penyembahan, ada tiga wujud yang menjadi sarananya, yaitu sthula, pemujaan berupa arca, suksma berupa mantra dan para adalah wujud yang paling abstrak yng hanya dapat dirasakan oleh pikiran. Arca sebagai simbol, bukan saja untuk sarana Tantrayana atau Hindu umumnya, tetapi juga merupakan sarana semua orang di seluruh dunia, kecuali Yogin dan Wedantin. Beberapa gambaran (arca) dibayangkan dalam pikiran mereka, bila mereka memuja Tuhan. Bagaimanapun kecerdasannya, mereka membangkitkan suatu wujud dalam pikiran dan mereka memikirkan wujud tersebut. Bahkan, seorang wedantin (yang mengklaim dirinya tidak memuja patung) memiliki simbol OM guna memuaskan pikiran yang menerawang ke mana-mana (Redig dalam Surasmi, 2007: xviii).
Aspek Religi dalam Arca Bhairawa di Pura Kebo Edan
Tantrayana merupakan jalan untuk mencapai suatu kebahagian, baik itu kebahagiaan horizontal maupun vertikal. Kebahagiaan horizontal dalam Tantrayana dapat dilihat dalam konteks pemujaan, sedangkan kebahagiaan secara vertikal adalah adanya hubungan yang terjadi antara pemuja dengan yang dipuja. Avalon dalam Surasmi (2007: xiv) menyatakan bahwa dalam Tantrayana sesuai dengan Mahanirwana Tantra ada dua jalan untuk mencapai kebahagiaan itu, yaitu prawritti marga dan nirwritti marga. Prawritti marga lebih menekankan kepada Triwarga atau Triwangsa yakni dharma, kama dan artha. Triwangsa sebagai etos kerja hendaknya diamalkan dengan baik. Keinginan yang dimiliki oleh manusia harus tunduk di depan dharma. Demikian juga artha yang dicari untuk memuaskan keinginan, mencari artha itu harus dikendalikan dharma. Aliran Prawritti beranggapan bahwa untuk mencapai moksa setiap orang harus melakukannya dengan semadi dan yoga. Nirwritti marga bertujuan membebaskan indria dengan jalan menjamahkan sebanyak-banyaknya kepada suatu objek, jalan yang ditempuh itu dapat dicapai dengan melakukan ajaran Pancatatva (Panca Makara) yang terdiri dari : 1) madya (alkohol/minuman keras), 2) mamsa (daging), 3) matsya (ikan), 4) mudra (sikap tangan), dan 5) maithuna (persetubuhan) (Goris, 1986: 9). Dari sumber-sumber kasusastraan maupun peninggalan-peninggalan arca, kemungkinan aliran inilah yang banyak dianut pada zaman dahulu. Dalam upacara Tantrayana, Panca Makara ini memegang peranan penting, bukan berarti para sadhaka (pengikut Tantrayana) dibenarkan makan daging sebanyak-banyaknya, minum sampai mabuk, apalagi bersetubuh secara berlebihan. Panca Makara bagi Tantrayana hanyalah  sebagai perlengkapan upacara atau hanya sebagai simbol.
Apabila dilihat jauh kebelakang mengenai perkembangan paham tantrayana dapat dilihat dari kebudayaan Lembah Indus, sesungguhnya dasar-dasar dari paham tantra sudah terlihat dari adanya pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran yang disimbolkan lewat arca yang berpayudara besar. Tantrayana mula-mula muncul di daerah Bengal. Di daerah ini terdapat pemujaan terhadap dewa perempuan biasa disebut Kali dengan mempersembahkan seekor domba. Pada abad ke-6 Masehi paham tantra mulai berpengaruh dalam agama Hindu dan Buddha yang kemudian berkembang ke wilayah Nepal, Tibet dan Nuantara. Di Nusantara paham Tantrayana telah berkembang pada waktu pemerinthan raja Sindok. Ketika itu hidup seorang guru Tantrayana bernma Sri Sambharasuryyawarana yang berhasil menyusun kitab Vajra-Dhatu Subhuti-Tantra; suatu kitab tantrayana yang dipelajari mendalam oleh raja Kertanagara yang memerintah di Jawa Timur pada tahun 1268-1292 Masehi (Ras, 2014: 134). Tantrayana berkembang pesat pada abad ke 12 Masehi di Singhasari, Jawa Timur. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Raja Kertanagara ketika menjadi raja Kerajaan Singhasari. Pendapat ini diperkuat oleh Soekmono (1991: 66) yang menyatakan bahwa raja Kertanagara merupakan pengikut setia ajaran Tantrayana.
Di Bali, pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa pada tahun 989 Masehi, dikenal nama Gunapriya Dharmmapatni (Mahendradatta) seorang putri Jawa Timur keturunan raja Sindok. Mahendradatta dikatakan terpengaruh pula oleh aliran Tantrayana. Ketika Mahendradatta mangkat, kemudian diwujudkan dalam bentuk arca Durga Mahisasuramardhini yaitu arca Durga sedang membunuh asura yang berada pada badan seekor kerbau. Arca itu menguatkan dugaan bahwa Mahendradatta sebagai penganut ajaran tantra dan Dewi Durgalah yang menganugerahi kesaktian.
Dalam sejarah kerajaan Singhasari ketika raja Kertanagara memerintah, Bali berhasil ditaklukan pada tahun 1284 Masehi. Pengaruh paham Tantrayana dari kerajaan Singhasari juga sampai ke Bali (Poesponegoro dan Notosusanto, 2011: 437). Bukti arkeologis penaklukan itu ialah arca-arca yang terdapat di Pura Kebo Edan diantaranya adalah Arca Bhairawa.
Menurut R. Goris dalam buku Sejarah Bali Kuno disebutkan bahwa Pura Kebo Edan adalah satu diantara 14 pura yang tergolong kuno; pura-pura itu adalah 1) Pura Yeh Gangga, 2) Pura Penataran Sasih, 3) Pura Pusering Jagat, 4) Pura Kebo Edan, 5) Pura Maospait, 6) Pura Samuan Tiga, 7) Pura Tegeh Koripan, 8) Pura Canggi, 9) Pura Uluwatu, 10) Pura Sakenan, 11) Pura Kehen, 12) Pura Watun Karu, 13) Pura Dasar Gelgel, 14) Pura Besakih (Goris, 1948: 20)
Pura ini terletak di  di ujung selatan desa Pejeng, dekat dengan  perbatasan  Desa Bedulu. Jaraknya kurang lebih 7 km dari kota Gianyar dan kurang lebih 27 km dari kota Denpasar. Nama Pura Kebo Edan diperoleh dari nama arca yang terdapat pada halaman dalam pura yaitu sepasang arca kerbau, yang ditempatkan pada duah bangunan di sebelah kanan dan kiri dari Arca Bhairawa. Selain itu nama Kebo Edan juga dikaitkan dengan nama Kebo Parud yang merupakan seorang patih yang mewakili pemerintahan Singhasari di Bali. Hal ini dilandasi dengan prasasti berangka tahun caka 1218 dan caka 1222 yang menyebutkan nama “raja patih” yakni Kebo Parud. Nama-nama dan pangkat mantra lainnya juga bercorak Jawa, seperti menteri-menteri kerajaan Singhasari.
Arca Bhairawa yang terdapat di Pura Kebo Edan kemungkinan besar merupakan praktek Tantrayana yang dilakukan pada masa pemerintahan pegawai-pegawai kerajaan Singhasari di Bali. Arca Bhairawa tersebut tingginya 360 cm dengan bentuk badan yang besar dan tegap, serta dalam sifat ugra. Ugra mengandung pengertian garang, bengis dan menyeramkan. Rambut arca ikal berombak menunjukkan sifat keraksasaan. Bentuk roman mukanya tidak jelas karena muka arca memakai kedok yang pada saat sekarang tidak begitu jelas gambar-gambar yang terlukis pada kedok tersebut. Menurut Sttuterheim dalam Surasmi (2007: 118), kedok tersebut berisikan gambar-gambar yang melambangkan tanda kemujuran Cri, yang memberikan segala macam kekayaan dan kebahagiaan termasuk mokshanya jiwa. Pada bagian di bawah lipatan kulit yang tebal tergantung perhiasan dada yang kuat, apabila dilihat garis-garisnya akan mengingatkan dengan candra kepala, tengkorak seperti bulan sabit.
Bentuk badan arca Bhairawa besar dan tegap berdiri diatas mayat manusia dengan kepala miring dan mata terbuka, segangkan kedua kaki arca terletak berjauhan dalam sikap menanjak sebagai sikap menari, yang mengingatkan pada sikap arca catuh kaya. Pergelangan kaki dan tangan arca dibelit ular, sedangkan kemaluan dilukiskan berayun-ayun dan mencuat kearah kiri (Sutaba, 1985: 8). Memperhatikan kemaluannya yang mencuat ke kiri kemungkinan paham Tantrayana yang dianut pada waktu itu adalah dari aliran nirwritti.

Kesimpulan
Uraian diatas menjelaskan bahwa arca yang dibuat oleh para sadhaka untuk kepentingan mereka  dalam melaksanakan upacara-upacara kepercayaan memiliki ciri-ciri khusus seperti menunjukkan sifat-sifat garang, dahsyat, menakutkan, semua hal-hal berhubungan dengan kematian (mayat), tengkorak, darah dan sebagainya. Para penganut tantrayana dalam mewujudkan arca-arcanya sesuai dengan dasar-dasar kepercayaan dalam melaksanakan ajarannya yang banyak mempergunakan magik dan mistik.
Upacara Tantrayana yang terpenting adalah melakukan Panca Makara. Kelima hal tersebut harus dilakukan dnegan hati dan perasaan bebas sama sekali dengan tiada tenggelam dalam kenikmatin duniawi.Namun apa sebenarnya fungsi arca Bhairawa di Pura Kebo Edan? Belum jelas diketahui.





Daftar Pustaka

Goris, R. 1986. Sekte-Sekte di Bali. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Munandar, Agus Aris. 1990. Arca dan Relief pada Kepurbakalaan Gunung Penanggungan : Pembicaraan Ringkas Aspek Keagamaan. Depok : FS UI.

Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. 2011. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II Edisi Pemuktahiran. Jakarta : Balai Pustaka.

Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta : YOI.

Surasmi, I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar : CV Bali Media Adhikarsa.

Soekmono, R. 1991. Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : Kanisius.

Sutaba, I Made. 1985. Mengenal Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar