Pendahuluan
Kebudayaan masyarakat
masa lampau merupakan catatan sejarah yang sangat penting dan berharga.
Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau pegangan hidup bagi masyarakat masa
kini dan masa yang akan datang, sehingga perlu untuk tetap mempelajari dan mewariskannya
(Koentjaraningrat, 2000: 186).
Persentuhan kebudayaan
India dan Bali telah terjadi pada abad pertama Masehi. Orang-orang India datang
ke Nusantara secara bertahap dan terus berlangsung sampai abad ke-8 Masehi. Kedatangan mereka,
membawa serta kebudayaan India antara lain dalam bentuk filsafat kesenian dan
agama (Hindu dan Buddha). Kedua agama tersebut juga memiliki banyak paham yang
dikembangkan para penganutnya antara lain paham Tantrayana. Jika dilihat jauh
ke kebudayaan Lembah Indus, dasar-dasar paham tantra sudah terlihat, hal ini
dapat dilihat dari adanya pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Pada abad
ke-6 Masehi, paham Tantrayana mempengaruhi agama Hindu dan Buddha, kemudian
berkembang di Nepal, Tibet dan Nusantara bahkan Bali.
Paham ini sangat berkembang di Nusantara dalam
beberapa abad antara lain di Jawa Timur, Sumatra dan Bali. Di Bali jejak-jejak
paham tersebut masih tampak jelas dalam praktik-praktik kepercayaan Hindu, seperti
tinggalan arca Bhairawa di Pura Kebo Edan, Pejeng, Gianyar, yang dapat
diinterpretasikan sebagai ikon tantrayana.
Berkaitan dengan sarana
penyembahan, ada tiga wujud yang menjadi sarananya, yaitu sthula, pemujaan berupa arca, suksma
berupa mantra dan para adalah
wujud yang paling abstrak yng hanya dapat dirasakan oleh pikiran. Arca sebagai
simbol, bukan saja untuk sarana Tantrayana atau Hindu umumnya, tetapi juga
merupakan sarana semua orang di seluruh dunia, kecuali Yogin dan Wedantin.
Beberapa gambaran (arca) dibayangkan dalam pikiran mereka, bila mereka memuja
Tuhan. Bagaimanapun kecerdasannya, mereka membangkitkan suatu wujud dalam
pikiran dan mereka memikirkan wujud tersebut. Bahkan, seorang wedantin (yang
mengklaim dirinya tidak memuja patung) memiliki simbol OM guna memuaskan
pikiran yang menerawang ke mana-mana (Redig dalam Surasmi, 2007: xviii).
Aspek
Religi dalam Arca Bhairawa di Pura Kebo Edan
Tantrayana merupakan
jalan untuk mencapai suatu kebahagian, baik itu kebahagiaan horizontal maupun
vertikal. Kebahagiaan horizontal dalam Tantrayana dapat dilihat dalam konteks
pemujaan, sedangkan kebahagiaan secara vertikal adalah adanya hubungan yang
terjadi antara pemuja dengan yang dipuja. Avalon dalam Surasmi (2007: xiv)
menyatakan bahwa dalam Tantrayana sesuai dengan Mahanirwana Tantra ada
dua jalan untuk mencapai kebahagiaan itu, yaitu prawritti marga dan nirwritti
marga. Prawritti marga lebih
menekankan kepada Triwarga atau Triwangsa yakni dharma, kama dan artha. Triwangsa sebagai etos kerja hendaknya diamalkan dengan baik.
Keinginan yang dimiliki oleh manusia harus tunduk di depan dharma. Demikian juga artha
yang dicari untuk memuaskan keinginan, mencari artha itu harus dikendalikan dharma.
Aliran Prawritti beranggapan bahwa
untuk mencapai moksa setiap orang harus melakukannya dengan semadi dan yoga. Nirwritti marga bertujuan membebaskan indria dengan jalan menjamahkan
sebanyak-banyaknya kepada suatu objek, jalan yang ditempuh itu dapat dicapai
dengan melakukan ajaran Pancatatva (Panca Makara) yang terdiri dari : 1) madya
(alkohol/minuman keras), 2) mamsa
(daging), 3) matsya (ikan), 4) mudra (sikap tangan), dan 5) maithuna (persetubuhan) (Goris, 1986:
9). Dari sumber-sumber kasusastraan maupun peninggalan-peninggalan arca, kemungkinan
aliran inilah yang banyak dianut pada zaman dahulu. Dalam upacara Tantrayana, Panca Makara ini memegang peranan penting, bukan berarti para sadhaka (pengikut Tantrayana) dibenarkan
makan daging sebanyak-banyaknya, minum sampai mabuk, apalagi bersetubuh secara
berlebihan. Panca Makara bagi Tantrayana hanyalah sebagai perlengkapan upacara atau hanya
sebagai simbol.
Apabila dilihat jauh
kebelakang mengenai perkembangan paham tantrayana dapat dilihat dari kebudayaan
Lembah Indus, sesungguhnya dasar-dasar dari paham tantra sudah terlihat dari
adanya pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran yang disimbolkan lewat arca yang
berpayudara besar. Tantrayana mula-mula muncul di daerah Bengal. Di daerah ini
terdapat pemujaan terhadap dewa perempuan biasa disebut Kali dengan
mempersembahkan seekor domba. Pada abad ke-6 Masehi paham tantra mulai
berpengaruh dalam agama Hindu dan Buddha yang kemudian berkembang ke wilayah
Nepal, Tibet dan Nuantara. Di Nusantara paham Tantrayana telah berkembang pada
waktu pemerinthan raja Sindok. Ketika itu hidup seorang guru Tantrayana bernma
Sri Sambharasuryyawarana yang berhasil menyusun kitab Vajra-Dhatu Subhuti-Tantra; suatu kitab tantrayana yang dipelajari
mendalam oleh raja Kertanagara yang memerintah di Jawa Timur pada tahun
1268-1292 Masehi (Ras, 2014: 134). Tantrayana berkembang pesat pada abad ke 12
Masehi di Singhasari, Jawa Timur. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Raja Kertanagara
ketika menjadi raja Kerajaan Singhasari. Pendapat ini diperkuat oleh Soekmono
(1991: 66) yang menyatakan bahwa raja Kertanagara merupakan pengikut setia
ajaran Tantrayana.
Di Bali, pada masa
pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa pada tahun 989 Masehi, dikenal nama
Gunapriya Dharmmapatni (Mahendradatta) seorang putri Jawa Timur keturunan raja
Sindok. Mahendradatta dikatakan terpengaruh pula oleh aliran Tantrayana. Ketika
Mahendradatta mangkat, kemudian diwujudkan dalam bentuk arca Durga Mahisasuramardhini
yaitu arca Durga sedang membunuh asura yang berada pada badan seekor kerbau.
Arca itu menguatkan dugaan bahwa Mahendradatta sebagai penganut ajaran tantra
dan Dewi Durgalah yang menganugerahi kesaktian.
Dalam sejarah kerajaan
Singhasari ketika raja Kertanagara memerintah, Bali berhasil ditaklukan pada
tahun 1284 Masehi. Pengaruh paham Tantrayana dari kerajaan Singhasari juga
sampai ke Bali (Poesponegoro dan Notosusanto, 2011: 437). Bukti arkeologis
penaklukan itu ialah arca-arca yang terdapat di Pura Kebo Edan diantaranya
adalah Arca Bhairawa.
Menurut R. Goris dalam
buku Sejarah Bali Kuno disebutkan
bahwa Pura Kebo Edan adalah satu diantara 14 pura yang tergolong kuno;
pura-pura itu adalah 1) Pura Yeh Gangga, 2) Pura Penataran Sasih, 3) Pura Pusering
Jagat, 4) Pura Kebo Edan, 5) Pura Maospait, 6) Pura Samuan Tiga, 7) Pura Tegeh
Koripan, 8) Pura Canggi, 9) Pura Uluwatu, 10) Pura Sakenan, 11) Pura Kehen, 12)
Pura Watun Karu, 13) Pura Dasar Gelgel, 14) Pura Besakih (Goris, 1948: 20)
Pura ini terletak
di di ujung selatan desa Pejeng, dekat
dengan perbatasan Desa Bedulu. Jaraknya kurang lebih 7 km dari
kota Gianyar dan kurang lebih 27 km dari kota Denpasar. Nama Pura Kebo Edan
diperoleh dari nama arca yang terdapat pada halaman dalam pura yaitu sepasang
arca kerbau, yang ditempatkan pada duah bangunan di sebelah kanan dan kiri dari
Arca Bhairawa. Selain itu nama Kebo Edan juga dikaitkan dengan nama Kebo Parud
yang merupakan seorang patih yang mewakili pemerintahan Singhasari di Bali. Hal
ini dilandasi dengan prasasti berangka tahun caka 1218 dan caka 1222 yang
menyebutkan nama “raja patih” yakni Kebo Parud. Nama-nama dan pangkat mantra
lainnya juga bercorak Jawa, seperti menteri-menteri kerajaan Singhasari.
Arca Bhairawa yang
terdapat di Pura Kebo Edan kemungkinan besar merupakan praktek Tantrayana yang
dilakukan pada masa pemerintahan pegawai-pegawai kerajaan Singhasari di Bali.
Arca Bhairawa tersebut tingginya 360 cm dengan bentuk badan yang besar dan
tegap, serta dalam sifat ugra. Ugra mengandung
pengertian garang, bengis dan menyeramkan. Rambut arca ikal berombak
menunjukkan sifat keraksasaan. Bentuk roman mukanya tidak jelas karena muka
arca memakai kedok yang pada saat sekarang tidak begitu jelas gambar-gambar
yang terlukis pada kedok tersebut. Menurut Sttuterheim dalam Surasmi (2007:
118), kedok tersebut berisikan gambar-gambar yang melambangkan tanda kemujuran
Cri, yang memberikan segala macam kekayaan dan kebahagiaan termasuk mokshanya
jiwa. Pada bagian di bawah lipatan kulit yang tebal tergantung perhiasan dada
yang kuat, apabila dilihat garis-garisnya akan mengingatkan dengan candra
kepala, tengkorak seperti bulan sabit.
Bentuk badan arca
Bhairawa besar dan tegap berdiri diatas mayat manusia dengan kepala miring dan
mata terbuka, segangkan kedua kaki arca terletak berjauhan dalam sikap menanjak
sebagai sikap menari, yang mengingatkan pada sikap arca catuh kaya. Pergelangan kaki dan tangan arca dibelit ular,
sedangkan kemaluan dilukiskan berayun-ayun dan mencuat kearah kiri (Sutaba,
1985: 8). Memperhatikan kemaluannya yang mencuat ke kiri kemungkinan paham
Tantrayana yang dianut pada waktu itu adalah dari aliran nirwritti.
Kesimpulan
Uraian diatas
menjelaskan bahwa arca yang dibuat oleh para sadhaka untuk kepentingan
mereka dalam melaksanakan
upacara-upacara kepercayaan memiliki ciri-ciri khusus seperti menunjukkan
sifat-sifat garang, dahsyat, menakutkan, semua hal-hal berhubungan dengan
kematian (mayat), tengkorak, darah dan sebagainya. Para penganut tantrayana
dalam mewujudkan arca-arcanya sesuai dengan dasar-dasar kepercayaan dalam
melaksanakan ajarannya yang banyak mempergunakan magik dan mistik.
Upacara Tantrayana yang
terpenting adalah melakukan Panca Makara. Kelima hal tersebut harus dilakukan
dnegan hati dan perasaan bebas sama sekali dengan tiada tenggelam dalam
kenikmatin duniawi.Namun apa sebenarnya fungsi arca Bhairawa di Pura Kebo Edan?
Belum jelas diketahui.
Daftar
Pustaka
Goris,
R. 1986. Sekte-Sekte di Bali. Jakarta
: Bhratara Karya Aksara.
Koentjaraningrat.
2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta
: PT Rineka Cipta.
Munandar,
Agus Aris. 1990. Arca dan Relief pada
Kepurbakalaan Gunung Penanggungan : Pembicaraan Ringkas Aspek Keagamaan. Depok
: FS UI.
Poesponegoro,
M.D. & Notosusanto, N. 2011. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid II Edisi Pemuktahiran. Jakarta : Balai Pustaka.
Ras,
J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di
Jawa. Jakarta : YOI.
Surasmi,
I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di
Bali. Denpasar : CV Bali Media Adhikarsa.
Soekmono,
R. 1991. Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : Kanisius.
Sutaba,
I Made. 1985. Mengenal
Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar