Translate

Senin, 24 Oktober 2016

Nekara Bulan Pejeng Tinggalan Masa Perundagian

Masa akhir prasejarah di Indonesia (Masa Logam), oleh H.R van Heekeren (1958) disebut “The Bronze-iron Age”. Hal ini disebabkan tidak ditemukan artefak tembaga, sedangkan artefak dari perunggu dan besi ditemukan bersma dalam konteks. R.P Soejono menyebutkan Masa Perundagian. Kata Perundagian  diambil dari kata dasar undagi dari bahasa Bali.Undagi ialah seseorang atau sekelompok atau golongan masyarakat yang mempunyai keterampilan jenis usaha tertentu. Dalam masa perundagian ini teknologi berkembang dengan sangat pesat sebagai akibat dari tersusunnya golongan-golongan dalam masyarakat yang dibebani pekerjaan tertentu.

Di Asia Tenggara logam mulai dikenal kira-kira 3000-2000 SM. Pengetahuan tentang perkembangan logam ini lebih banyak dikenal setelah pada tahun 1924 Payot mengadakan penggalian di sebuah kuburan di Dongson (Vietnam). Dalam penggalian ini ditemukan berbagai macam alat perunggu, antara lain nekara, bejana, ujung tombak, kapak dan gelang. Di Indonesia penggunaan logam diketahui pada masa sebelum Masehi. Beberapa benda perunggu yang ditemukan di Indonesia menunjukkan persamaan dengan temuan-temuan di Dong Son (Vietnam), baik bentuk maupun pola hiasnya. Hal ini menimbulkan dugaan tentang adanya hubungan budaya yang berkembang di Dong Son dengan di Indonesia.

Unsur yang penting dari artefak logam adalah nekara perunggu. Nekara berbentuk seperti gendang terbalik (Soekmono, 2000: 64). Benda ini dianggap sebagai drum sehingga disebut kettle drum, metal drum, kettle gong, dan metal trommeln. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, nekara merupakan gendang dari perunggu yang berbentuk seperti dandang berpinggang di bagian tengah dan selaput suaranya berupa logam. Nekara dianggap sebagai barang suci, karena penggunaannya hanya pada waktu-waktu upacara-upacara saja. Nekara juga berfungsi sebagai tempat kubur, alat tukar dan mas kawin. Nekara perunggu yang ditemukan di Indonesia ada dua tipe yaitu Tipe Pejeng dan Tipe Heger. Tipe Pejeng diambil dari nama tempat ditemukannya nekara tipe ini yang besar dan pertama, sedangkan tipe Heger diambil dari nama F. Heger yang mengklasifikasi nekara ini.

Pada tahun 1705 Rumphius menyebutkan temuan sebuah nekara perunggu yang sangat besar di Desa Pejeng, Gianyar. Nekara ini oleh penduduk setempat disebut dengan nama “Bulan Pejeng”, dan dianggap sebagai roda bulan yang jatuh ke bumi. Sekarang nekara tersebut disimpan di Pura Penataran Sasih, Desa Pejeng, Gianyar ditempatkan di atas Palinggih. Nekara tersebut diletakkan dalam posisi ditidurkan dengan bagian-bagian sisinya dibawah. Nekara tersebut merupakan nekara terbesar di Indonesia, dengan ukuran tinggi 186,5 cm, garis tengah bidang pukul 160 cm, dan tepi  bidang pukulnya setebal 3 mm menjorok keluar dari badan nekara selebar 25 cm. Bahu lurus ke bawah serta kaki mencembung pada bagian tengah (pinggang), sedangkan di bagian ujung kaki melebar. Garis tengah bagian kaki lebih besar daripada bagian pinggang.

Bagian atas terdiri dari atas bidang pikul dan bagian bahu. Di tengah bidang pikul terdapat pola bintang dengan delapan sinar. Ruang diantara kedepalan sinar tersebut berisi pola hias bulu ekor burung merak dengan bulatan-bulata menonjol. Pola bintang dan bulu ekor burung merak ini dikelilingi oleh garis-garis yang membentuk lingkaran. Bidang ini berisi pola hias garis-garis yang disusun dalam empat buah pita melingkar yang berisi garis-garis pendek, dan terkahir adalah pola-pola garis yang disusun sebagai pita-pita bergelombang berisi garis-garis pendek dengan tonjolan-tonjolan yang berjumlah 16 buah, beberapa diantaranya pada jarak tertentu dihubungkan oleh garis-garis sejajar.

Bagian bahu terbagi dalam ruang-ruang horizontal yang kosong dan berisi garis-garis melingkar. Ruang pertama kosong tanpa pola hias; ruang kedua berisi susunan igir (richles) yang berjumlah 11 buah; ruang ketiga kosong tanpa hiasan, hanya ada garis melingkar yang tebal seolah sebagai penyambung serta enam buah lubang kecil; ruang keempat berupa pita-pita yang berisi pola hias tangga, tumpal dan huruf F; ruang kelima berisi empat buh pegangan yang bagian bawahnya telah rusak, dan di antara pegangan-pegangan ini terdapat pola topeng yang seharusnya berjumlah delapan buah. Topeng pada sisi utara telah rusak salah satu bagian hidungnya, matanya digambarkan sangat menonjol dan dikelilingi oleh lingkaran, di kiri kanan hidung terdapat bentuk segi empat yang solah-olah ditempelkan menggambarkan pipi, sedangkan bagian mulut digambarkan berkumis dan berjenggot. Telinga dilubangi dan diberi bandul yang menggambarkan giwang (bahasa Jawa) berupa bulatan-bulatan. Giwang ini digambarkan berat  sehingga lubang telinga menggelayut panjang.   

Bagian tengah atau pinggang terbagi dalam dua bagian yaitu bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas yang vertikal terletak dibawah pegangan dan pola topeng, dan berisi pola tumpal huruf f. Bagian bawah horizontal berisi pola tumpal yang berhadapan dengan pola huruf f. Dari bagian pinggang ini terlihat bahwa pada waktu pembuatannya, nekara disambungkan pada bagian ini. Bagian pegangan atau telinga terletak diantara bahu dan pinggang. Pegangan berjumlah empat buah, kecuali yang ada dibawah, tiga buah lainnya masih bagus; pola hiasnya berupa pola anyaman atau garis-garis silang yang sangat rapat.

Bagian bawah atau kaki hanya diberi hiasan pada bagian tepi bawahnya. Nekara yang diletakkan dalam posisi ditidurkan ini telah mengakibatka bagian yang dibawah rusak berat. Bagian kaki sebagian sudah pecah. Pola hias yang tampak adalah pola tumpal, garis-garis tegak, dan huruf f (Heekeren dalam Poesponogoro & Notosusanto, 2011: 310).




Ardika, I Wayan (dkk). 2013. Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar : Udayana                     University Press
Kompiang Gede, I Dewa. 1992. Temuan Kapak Perunggu Di Jimbaran, Kab. Badung. Denpasar:                     Balai Arkeologi 
Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. 2011. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I Edisi                                     Pemuktahiran. Jakarta : Balai Pustaka.
Soekmono, R. 1991. Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta : Kanisius.

Sutaba, I Made. 1985. Mengenal Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Daerah Bali. Departemen                 Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Suaka Peninggalan Sejarah dan               Purbakala Bali.

Selasa, 04 Oktober 2016

Peranan Keramik dalam Arkeologi


Istilah keramik digunakan untuk barang-barang yang dibuat dari tanah liat bakar. Barang-barang tersebut dikelompokkan berdasarkan bahan dan suhu pembakarannya, yaitu tembikar (earthenware), batuan (stoneware), dan porselin (porcelain).Di Indonesia istilah keramik digunakan untuk barang-barang yang dibuat dari porselin dan batuan,sedangkan tembikar untuk barang-barang yang dibuat dari tanah liat (Harkatiningsih, dkk, 1999: 58). Keramik menjadi salah satu jenis data yang banyak ditemukan dalam dunia arkeologi, karena pembuatan keramik sendiri merupakan sebuah penemuan besar yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dimulai dari masa bercocok tanam dan berkembang pada masa perundagian, bahkan sampai sekarang manusia masih menggunakan keramik untuk berbagai kebutuhan. Keramik dan tembikar banyak ditemukan karena merupakan benda budaya yang berpotensi tinggi untuk bertahan terhadap kondisi lingkungan dan cuaca. Kedua jenis benda tersebut hampir sama, yang membedakan adalah suhu pembakarannya. Tembikar secara umum dibuat dengan suhu pembakaran 500º-800º C, yaitu suhu tertinggi yang dapat dicapai pada pembakaran secara terbuka, sedangkan pembakaran keramik biasanya sampai pada suhu di atas 1300º C (Prijono, 2000:132). Proses pembakaran kedua jenis benda ini yang membuat mereka mampu bertahan pada cuaca maupun iklim yang berubah-ubah.
Tembikar ataupun keramik, umumnya benda-benda yang berbahan dasar dan dibakar memiliki peranan yang sangat besar, sehingga benda-benda tersebut memiliki peranan yang sangat besar dalam studi arkeologi. Penemuan tembikar menunjukan berkembangnya kebudayaan manusia. Dari kegiatan penggalian tembikar, setidaknya ada tiga bukti yang kita peroleh, sebagai berikut:
1.      Bukti penanggalan
2.      Bukti distribusi, sebagai contoh alur perdagangan
3.      Bukti terkait dengan fungsi atau status
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, diketahui ada beberapa fakta bahwa setiap benda dibuat untuk tujuan tertentu, dibuat pada tempat tertentu, dibuat pada waktu tertentu. Temuan tembikar dalam perannya sebagai bukti penanggalan dapat dilihat pada temuan tembikar pada sebuah situs, biasanya dapat diidentifikasi bagaimana cara pembuatannya, dari apa dibuatnya, apa tujuan pembuatannya, atau bahkan darimana asal pembuatannya serta siapa yang membuatnya. Konteks yang berbeda-beda dapat dilihat dari perbedaan bentuk, struktur, teknologi dan dekorasi. Kita dapat membangun sebuah gambar mengenai perbedaan aspek-aspek dengan memperlajari kejadian sebelumnya tentang berbedaan tipe atau karakteristik dalam konteks yang bebeda, sehingga memungkinkan kita untuk membuat sebuah urutan pertanggalan relatif. Untuk membuat tanggalan absolut, kita perlu menemukan sumber lain sebagai bukti pelengkap ataupun melalui teknik ilmiah, biasanya membutuhkan material lain selain tanah liat, seperti Carbon dating. Tembikar sebagai bukti perdagangan dibuktikan dari banyak ditemukannya temuan-temuan benda dari tanah liat di berbagai wilayah. Tembikar sebagai bukti status atau perananan dilihat dari lokasi ataupunragam hias yang ada pada data saat ditemukan.
            Dari berbagai bentuk penelitian, khususnya terhadap studi keramik, banyak ditemukan manfaat dalam penelitian arkeologi. Studi tentang keramik memiliki peran penting, melalui berbagai bentuk penelitian, sebagai berikut:
1.      Teknik pembuatan: ada beberapa teknik pembuatan dalam membuat benda-benda dari tanah liat, sebagai contoh teknik secara manual (tek.coil, tek. tatap batu, tek. lempengan) ataupun menggunakan alat (tek.putar dan tek.cetak). Melalui teknik pembuatan benda, kita dapat melihat bahwa pembuatan dengan teknik-teknik manual menghasilkan benda yang masih sederhana dan melihat bahwa kebudayaannya belum terlalu maju, sedangkan benda-benda yang sudah menggunakan alat akan menghasilkan bentuk yang lebih beragam. Adanya alat menandakan suatu kebudayaan sudah lebih maju. Begitupun dengan teknik pemabakaran, bila benda yang dihasilkan berupa tembikar (pembakaran 500º-800º C) dibuat dengan pembakaran terbuka, sehingga kualitasnya belum sebagus dengan benda-benda porselin. Adanya pengglasiran juga menunjukan kemajuan pembuatan tembikar atau keramik. Semakin tinggi tingkat pembakar, semakin kompleks kandungan zat pembuatan alat dari tanah liat, menunjukan teknik dan teknologi yang berkembang dan sudah maju, mencirikan suatu kebudayaan yang besar.
2.      Ragam hias: ragam hias benda dari berupa goresan, ragam hias geometris, hingga sulur-suluran dan ragam hias yang lebih kompleks lainnya menunjukan pola pikir manusia yang sudah berkembang dan mencirikan suatu kebudayaan pada satu wilayah di waktu tertentu. Ragam hias dan bentuk juga biasanya mencirikan kehidupan sosial ataupun bentuk-bentuk pemujaan suatu masyarakat, sehingga melalui ragam hias kita dapat memberikan suatu gambaran tentang kehidupan sosio-religius suatu peradaban.
3.      Kronologi: dengan penemuan gerabah pada suatu situs, melalui klasifikasi morfologi, teknologi dan stilistik kita dapat mengidentifikasi alur persebaran maupun perkembangan bentuk dan ragam hias melalui studi komparatif dengan temuan lainnya ataupun wlayah lain. Sehingga melalui peninggalan, kita dapat menemukan alur persebaran ataupun perdangangan dari satu wilayah ke wilayah lain.
4.      Jumlah temuan: banyak-sedikitnya jumlah temuan di suatu tempat, mengidikasikan fungsi dari tempat tersebut. Bisa mengidentifikasikan suatu tempat sebagai sebuah pusat pembuatan gerabah atau keramik, sebagai pemukiman, sebagai tempat yang disakralkan dapat juga melihat dari jumlah temuannya. Namun, harus dilengkapi dengan penelitian lainnya untuk menghasilkan hasil yang tepat.
Sebagai
            Sebagai contoh kasus, diambil dari studi arkeologi terkait Aspek Arkeologis Artefak Tembikar dan Keramik Situs Pugung Raharjo dan Balung Jeruk Lampung Timur oleh Sudarti Prijono. Situs ini merupakan situs megalitik yang terletak di wilayah desa Pugung Raharjo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah. Situs ini merupakan dataran yang bergelombang dengan gundukan-gundukan tanah serta parit yang dalam. Dalam situs ini terdapat 7 buah punder berundak yang terdiri dari 1 sampai 3 undak, komplek batu mayat, batu dakon, batu lumpang, batu bergores, arca batu, dan salah satu dari komplek ini adalah benteng tanah yang dilengkapi dengan parit. Temuan lainnya berupa fragmen keramik yang berasal dari dinasti Tang, Sung, Yuan, Ming, Ching dan Vietnam, tembikar dan manik-manik.
            Lalu pada situs Balung Jeruk, di desa Trimulyo, dikenal sebagai blok Tridadi terletak 10 meter dari tepian sungai Way Sekampung. Situs ini ditandai dengan tatanan batu kali yang tertutup oleh tanah dan di atasnya berdiri sebuah menhir. Adapun artefak lepas yang tersebar, seperti pecahan keramik yang berasal dari dinasti Sung, Yuan, Ming, Ching, Thailand, dan Vietnam, tembikar, manik-manik dan mata uang VOC. Melalui analisis, diketahui bahwa bahan pembuatan tembikar pada kedua situs ini umumnya terbuat dari campuran tanah liat yang dihaluskan dan pasir kemudian dibentuk lalu dibakar. Pengamatan terhadap bekas yang ditinggalkan oleh pembuatnya menunjukan bahwa pembuatan tembikar umumnya menggunakan roda putar, teknik tangan dan teknik tatap landas. Teknik-teknik tersebut dapat dilacak melalui bekas putaran roda, bekas jari yang tertinggal pada dinding tembikar. Dilakukan juga analisis terhadap butiran pasir. Butiran pasir di dalam temper umumnya masih utuh, yaitu berbentuk butiran kecil dan agak runcing dengan lapisan-lapisan tanah liat yang  mengikat pasir. Ciri lain dapat pula dilihat dari sisa pembakaran yang tidak sempurna, seperti warna yang tidak merata pada tembikar. Tanda ini memberikan arti bahwa dipanaskan pada suhu rendah. Pembakaran pada suhu rendah mengindikasikan bahwa pembakaran dilakukan secara terbuka (tanpa tungku pembakaran), dimana suhu tertinggi biasanya sekitar 500º-800º C.
            Analisis terhadap bahan tembikar menunjukan tembikar dibagi menjadi dua jenis, yaitu tembikar kasar dan halus. Tembikar kasar terbuat dari temper dengan bahan campuran tanah liat dan pasir, sehingga struktur tembikar menjadi kasar dan berpori, sedangkan tembikar halus dibuat dari tanah liat yang halus tanpa diberikan pasir. Tembikar halus hanya ditemukan pada situs Pugung Raharjo.
            Dilihat dari bahan keramik dibedakan menjadi dua, stoneware dan porselin. Untuk mengetahuinya jenis bahan dapat dilihat dari badan keramik yang tidak diglasir ataupun dilapisi dengan oksida logam untuk warna. Keramik stoneware adalah keramik dengan badan tidak transparan walaupun dibakar pada suhu tinggi dan umumnya berwarna abu-abu. Keramik berbahan porselin adalah keramik dengan tubuh berwarna putih, keras, menyerupai kaca dan transparan. Fragmen keramik di situs Pugung Raharjo umumnya berupa earthenware dan stoneware berwarna abu-abu, tidak transparan dan keras, memiliki lapisan permukaan berwarna keputihan sampai krem dan di bawah lapisan terdapat hiasan yang umumnya dibuat dengan teknik gores, lukis dan tekan. Keramik yang ditemukan di situs Pugung Raharjo setelah diidentifikasi sebagian besar berasal dari Cina, sisanya dari Vietnam dan Thailand. Keramik dengan ciri berbahan dasar batuan abu-abu serta belang kecoklatan, lapisan glasir tunggal berwarna kehijauan, retak-retak, bagian belakang tidak berglasir, polos, bagian muka terdapat luka bekas tumpangan, lingkaran kaki rendah dan tebal tinggi bersudut, dan dasar bawah tidak berglasir merupakan ciri keramik dari masa dinasti Sung, abad 10M, menurut Adhyatman (1981). Lalu keramik yang berasal dari porselin warna putih keabu-abuan, berglasir tunggal abu-abu atau kebiruan mengkilat yang melapisi bagian dalam dan luar, hiasan berupa sulur-suluran dengan teknik gores di bawah glasir, lingkaran kaki tinggi runcing ke bawah, dan dasar bagian glasirnya tidak merata serta terdapat bekas tumpangan pembakaran. Keramik dengan ciri ini berasal dari dinasti Sung abad 11-12M.
            Ditemukan juga keramik dengan ciri berbahan dasar berasal dari poselin keabu-abuan, glasir tunggal tipis dan tidak merata berwarna putih kebiru-biruan atau putih kehijauan tidak mengkilat, sedangkan bagian luar berglasir sampai ke kaki. Terdapat hiasan berupa relief cap berupa sulur-suluran atau polos. Bagian bawah berlekuk dan tidak berglasir. Menurut Adhyatman (1981), keramik jenis ini berasal dari dinasti Yuan abad 13-14M. Lalu ditemukan juga keramik dari Vietnam dan Thailand dari abad 14-15M, walaupun jumlahnya hanya sedikit.
            Untuk temuan keramik di situs Balung Jeruk, diantaranya berasal dari dinasti Yuan abad 13-14 M, dinasti Sung abad 11-12 M dan sebagian besarnya berasal dari masa yang lebih muda dibandingkan dengan temuan di situs Pugung Raharjo. Hal ini dilihat dari analisis morfologi, yaitu keramik dari porselin putih kasar, hiasan flora berwarna biru di bawah glasir yang dibuat dengan teknik lukis, bagian dalam polos, lingkaran kaki rendah tidak berglasir, sedangkan dasar bawahnya berglasir. Ciri keramik tersebut mengindikasikan keramik dari dinasti Ming abad 16-17 M, menurut Adhyatman. Temuan keramik Cina lainnya berasal dari dinasti Ching (1644-1912). Lalu ditemukan keramik Eropa, namun jumlahnya sangat sedikit.
            Dilihat dari analisa keramik dan kronologi masa pembuatannya maka diyakini situs Pugung Raharjo diperkirakan lebih dahulu dihuni, sedangkan situs Balung Jeruk baru kemudian. Untuk memahami hubungan antara manusia yang menghuni satu situs dengan situs lain, selain temuan hasil budaya dan interaksi antara manusia dengan lingkungannya juga perlu dibahas. Persebaran dan hubungan benda-benda arkeologi yang terdapat di dalam satuan ruang tertentu merupakan pusat perhatian kajian arkeologi permukiman. Persebaran dan hubungan yang terjadi di dalam sebuah situs dapat dianggap sebagai pencerminan dari tindakan dan gagasan sekelompok keluarga atau sebuah komunitas, sedangkan pada satuan ruang wilayah dapat dianggap sebagai pencerminan budaya sekelompok komunitas atau sebuah masyarakat (Mundardjito, 1993).
            Sementara itu masyarakat yang mendiami suatu lingkungan yang berbeda cenderung menjalin hubungan sosial satu dengan lainnya guna memenuhi kebutuhan mereka, yaitu melakukan hubungan sosial atau interaksi baik secara individu maupun kelompok (Ardika, 1998). Fenomena tersebut berkaitan dengan temuan di kedua situs tersebut. Temuan artefak keramik di situs Pugung Raharjo secara kronologi lebih tua, didominasi oleh keramik dari dinasi Sung (11-12 M) dan dinasti Yuan (13-14 M), sedangkan temuan artefak keramik di situs Balung Jeruk didominasi keramik dari masa dinasti Ming (16-17 M). Dari hasil analisis dan pembahasan tersebut, artefak tembikar dan keramik memiliki potensi untuk merekonstruksi kehidupan manusia baik sebagai pembuat maupun pemakainya. Persebaran keramik dan tembikar di kedua situs tersebut merupakan salah satu dari identitas budaya manusia sebagai bukti dari kelanjutan hunian. Persebaran temuan tembikar dan keramik dapat digunakan untuk meruntut jalur migrasi populasi manusia atau keturunannya di masa lampau. Digunakan juga bukti-bukti lain sebagai data pendukung dalam menjelaskan permasalah budaya.


Daftar Pustaka
Harkantiningsih, Naniek, dkk. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Orton, Clive, Paul Tyers and Alan Vince.1993. Pottery in Archaeology. Great Britain: Cambridge University Press.
Prijono, Sudarti. 2000. Kronik Arkeologi, Perspektif Hasil Penelitian Arkeologi di Jawa Barat, Kalimantan Barat dan Lampung: Aspek Arkeologis Artefak Tembikar dan Keramik Situs Pugung Raharjo dan Balung Jeruk Lampung Timur. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
            

Aspek Religi dalam Arca Bhairawa di Pura Kebo Edan


Pendahuluan
Kebudayaan masyarakat masa lampau merupakan catatan sejarah yang sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau pegangan hidup bagi masyarakat masa kini dan masa yang akan datang, sehingga perlu untuk tetap mempelajari dan mewariskannya (Koentjaraningrat, 2000: 186).
Persentuhan kebudayaan India dan Bali telah terjadi pada abad pertama Masehi. Orang-orang India datang ke Nusantara secara bertahap dan terus berlangsung  sampai abad ke-8 Masehi. Kedatangan mereka, membawa serta kebudayaan India antara lain dalam bentuk filsafat kesenian dan agama (Hindu dan Buddha). Kedua agama tersebut juga memiliki banyak paham yang dikembangkan para penganutnya antara lain paham Tantrayana. Jika dilihat jauh ke kebudayaan Lembah Indus, dasar-dasar paham tantra sudah terlihat, hal ini dapat dilihat dari adanya pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Pada abad ke-6 Masehi, paham Tantrayana mempengaruhi agama Hindu dan Buddha, kemudian berkembang di Nepal, Tibet dan Nusantara bahkan Bali.
 Paham ini sangat berkembang di Nusantara dalam beberapa abad antara lain di Jawa Timur, Sumatra dan Bali. Di Bali jejak-jejak paham tersebut masih tampak jelas dalam praktik-praktik kepercayaan Hindu, seperti tinggalan arca Bhairawa di Pura Kebo Edan, Pejeng, Gianyar, yang dapat diinterpretasikan sebagai ikon tantrayana.
Berkaitan dengan sarana penyembahan, ada tiga wujud yang menjadi sarananya, yaitu sthula, pemujaan berupa arca, suksma berupa mantra dan para adalah wujud yang paling abstrak yng hanya dapat dirasakan oleh pikiran. Arca sebagai simbol, bukan saja untuk sarana Tantrayana atau Hindu umumnya, tetapi juga merupakan sarana semua orang di seluruh dunia, kecuali Yogin dan Wedantin. Beberapa gambaran (arca) dibayangkan dalam pikiran mereka, bila mereka memuja Tuhan. Bagaimanapun kecerdasannya, mereka membangkitkan suatu wujud dalam pikiran dan mereka memikirkan wujud tersebut. Bahkan, seorang wedantin (yang mengklaim dirinya tidak memuja patung) memiliki simbol OM guna memuaskan pikiran yang menerawang ke mana-mana (Redig dalam Surasmi, 2007: xviii).
Aspek Religi dalam Arca Bhairawa di Pura Kebo Edan
Tantrayana merupakan jalan untuk mencapai suatu kebahagian, baik itu kebahagiaan horizontal maupun vertikal. Kebahagiaan horizontal dalam Tantrayana dapat dilihat dalam konteks pemujaan, sedangkan kebahagiaan secara vertikal adalah adanya hubungan yang terjadi antara pemuja dengan yang dipuja. Avalon dalam Surasmi (2007: xiv) menyatakan bahwa dalam Tantrayana sesuai dengan Mahanirwana Tantra ada dua jalan untuk mencapai kebahagiaan itu, yaitu prawritti marga dan nirwritti marga. Prawritti marga lebih menekankan kepada Triwarga atau Triwangsa yakni dharma, kama dan artha. Triwangsa sebagai etos kerja hendaknya diamalkan dengan baik. Keinginan yang dimiliki oleh manusia harus tunduk di depan dharma. Demikian juga artha yang dicari untuk memuaskan keinginan, mencari artha itu harus dikendalikan dharma. Aliran Prawritti beranggapan bahwa untuk mencapai moksa setiap orang harus melakukannya dengan semadi dan yoga. Nirwritti marga bertujuan membebaskan indria dengan jalan menjamahkan sebanyak-banyaknya kepada suatu objek, jalan yang ditempuh itu dapat dicapai dengan melakukan ajaran Pancatatva (Panca Makara) yang terdiri dari : 1) madya (alkohol/minuman keras), 2) mamsa (daging), 3) matsya (ikan), 4) mudra (sikap tangan), dan 5) maithuna (persetubuhan) (Goris, 1986: 9). Dari sumber-sumber kasusastraan maupun peninggalan-peninggalan arca, kemungkinan aliran inilah yang banyak dianut pada zaman dahulu. Dalam upacara Tantrayana, Panca Makara ini memegang peranan penting, bukan berarti para sadhaka (pengikut Tantrayana) dibenarkan makan daging sebanyak-banyaknya, minum sampai mabuk, apalagi bersetubuh secara berlebihan. Panca Makara bagi Tantrayana hanyalah  sebagai perlengkapan upacara atau hanya sebagai simbol.
Apabila dilihat jauh kebelakang mengenai perkembangan paham tantrayana dapat dilihat dari kebudayaan Lembah Indus, sesungguhnya dasar-dasar dari paham tantra sudah terlihat dari adanya pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran yang disimbolkan lewat arca yang berpayudara besar. Tantrayana mula-mula muncul di daerah Bengal. Di daerah ini terdapat pemujaan terhadap dewa perempuan biasa disebut Kali dengan mempersembahkan seekor domba. Pada abad ke-6 Masehi paham tantra mulai berpengaruh dalam agama Hindu dan Buddha yang kemudian berkembang ke wilayah Nepal, Tibet dan Nuantara. Di Nusantara paham Tantrayana telah berkembang pada waktu pemerinthan raja Sindok. Ketika itu hidup seorang guru Tantrayana bernma Sri Sambharasuryyawarana yang berhasil menyusun kitab Vajra-Dhatu Subhuti-Tantra; suatu kitab tantrayana yang dipelajari mendalam oleh raja Kertanagara yang memerintah di Jawa Timur pada tahun 1268-1292 Masehi (Ras, 2014: 134). Tantrayana berkembang pesat pada abad ke 12 Masehi di Singhasari, Jawa Timur. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Raja Kertanagara ketika menjadi raja Kerajaan Singhasari. Pendapat ini diperkuat oleh Soekmono (1991: 66) yang menyatakan bahwa raja Kertanagara merupakan pengikut setia ajaran Tantrayana.
Di Bali, pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa pada tahun 989 Masehi, dikenal nama Gunapriya Dharmmapatni (Mahendradatta) seorang putri Jawa Timur keturunan raja Sindok. Mahendradatta dikatakan terpengaruh pula oleh aliran Tantrayana. Ketika Mahendradatta mangkat, kemudian diwujudkan dalam bentuk arca Durga Mahisasuramardhini yaitu arca Durga sedang membunuh asura yang berada pada badan seekor kerbau. Arca itu menguatkan dugaan bahwa Mahendradatta sebagai penganut ajaran tantra dan Dewi Durgalah yang menganugerahi kesaktian.
Dalam sejarah kerajaan Singhasari ketika raja Kertanagara memerintah, Bali berhasil ditaklukan pada tahun 1284 Masehi. Pengaruh paham Tantrayana dari kerajaan Singhasari juga sampai ke Bali (Poesponegoro dan Notosusanto, 2011: 437). Bukti arkeologis penaklukan itu ialah arca-arca yang terdapat di Pura Kebo Edan diantaranya adalah Arca Bhairawa.
Menurut R. Goris dalam buku Sejarah Bali Kuno disebutkan bahwa Pura Kebo Edan adalah satu diantara 14 pura yang tergolong kuno; pura-pura itu adalah 1) Pura Yeh Gangga, 2) Pura Penataran Sasih, 3) Pura Pusering Jagat, 4) Pura Kebo Edan, 5) Pura Maospait, 6) Pura Samuan Tiga, 7) Pura Tegeh Koripan, 8) Pura Canggi, 9) Pura Uluwatu, 10) Pura Sakenan, 11) Pura Kehen, 12) Pura Watun Karu, 13) Pura Dasar Gelgel, 14) Pura Besakih (Goris, 1948: 20)
Pura ini terletak di  di ujung selatan desa Pejeng, dekat dengan  perbatasan  Desa Bedulu. Jaraknya kurang lebih 7 km dari kota Gianyar dan kurang lebih 27 km dari kota Denpasar. Nama Pura Kebo Edan diperoleh dari nama arca yang terdapat pada halaman dalam pura yaitu sepasang arca kerbau, yang ditempatkan pada duah bangunan di sebelah kanan dan kiri dari Arca Bhairawa. Selain itu nama Kebo Edan juga dikaitkan dengan nama Kebo Parud yang merupakan seorang patih yang mewakili pemerintahan Singhasari di Bali. Hal ini dilandasi dengan prasasti berangka tahun caka 1218 dan caka 1222 yang menyebutkan nama “raja patih” yakni Kebo Parud. Nama-nama dan pangkat mantra lainnya juga bercorak Jawa, seperti menteri-menteri kerajaan Singhasari.
Arca Bhairawa yang terdapat di Pura Kebo Edan kemungkinan besar merupakan praktek Tantrayana yang dilakukan pada masa pemerintahan pegawai-pegawai kerajaan Singhasari di Bali. Arca Bhairawa tersebut tingginya 360 cm dengan bentuk badan yang besar dan tegap, serta dalam sifat ugra. Ugra mengandung pengertian garang, bengis dan menyeramkan. Rambut arca ikal berombak menunjukkan sifat keraksasaan. Bentuk roman mukanya tidak jelas karena muka arca memakai kedok yang pada saat sekarang tidak begitu jelas gambar-gambar yang terlukis pada kedok tersebut. Menurut Sttuterheim dalam Surasmi (2007: 118), kedok tersebut berisikan gambar-gambar yang melambangkan tanda kemujuran Cri, yang memberikan segala macam kekayaan dan kebahagiaan termasuk mokshanya jiwa. Pada bagian di bawah lipatan kulit yang tebal tergantung perhiasan dada yang kuat, apabila dilihat garis-garisnya akan mengingatkan dengan candra kepala, tengkorak seperti bulan sabit.
Bentuk badan arca Bhairawa besar dan tegap berdiri diatas mayat manusia dengan kepala miring dan mata terbuka, segangkan kedua kaki arca terletak berjauhan dalam sikap menanjak sebagai sikap menari, yang mengingatkan pada sikap arca catuh kaya. Pergelangan kaki dan tangan arca dibelit ular, sedangkan kemaluan dilukiskan berayun-ayun dan mencuat kearah kiri (Sutaba, 1985: 8). Memperhatikan kemaluannya yang mencuat ke kiri kemungkinan paham Tantrayana yang dianut pada waktu itu adalah dari aliran nirwritti.

Kesimpulan
Uraian diatas menjelaskan bahwa arca yang dibuat oleh para sadhaka untuk kepentingan mereka  dalam melaksanakan upacara-upacara kepercayaan memiliki ciri-ciri khusus seperti menunjukkan sifat-sifat garang, dahsyat, menakutkan, semua hal-hal berhubungan dengan kematian (mayat), tengkorak, darah dan sebagainya. Para penganut tantrayana dalam mewujudkan arca-arcanya sesuai dengan dasar-dasar kepercayaan dalam melaksanakan ajarannya yang banyak mempergunakan magik dan mistik.
Upacara Tantrayana yang terpenting adalah melakukan Panca Makara. Kelima hal tersebut harus dilakukan dnegan hati dan perasaan bebas sama sekali dengan tiada tenggelam dalam kenikmatin duniawi.Namun apa sebenarnya fungsi arca Bhairawa di Pura Kebo Edan? Belum jelas diketahui.





Daftar Pustaka

Goris, R. 1986. Sekte-Sekte di Bali. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Munandar, Agus Aris. 1990. Arca dan Relief pada Kepurbakalaan Gunung Penanggungan : Pembicaraan Ringkas Aspek Keagamaan. Depok : FS UI.

Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. 2011. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II Edisi Pemuktahiran. Jakarta : Balai Pustaka.

Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta : YOI.

Surasmi, I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar : CV Bali Media Adhikarsa.

Soekmono, R. 1991. Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : Kanisius.

Sutaba, I Made. 1985. Mengenal Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali.