Istilah keramik
digunakan untuk barang-barang yang dibuat dari tanah liat bakar. Barang-barang
tersebut dikelompokkan berdasarkan bahan dan suhu pembakarannya, yaitu tembikar
(earthenware), batuan (stoneware), dan porselin (porcelain).Di Indonesia istilah keramik
digunakan untuk barang-barang yang dibuat dari porselin dan batuan,sedangkan
tembikar untuk barang-barang yang dibuat dari tanah liat (Harkatiningsih, dkk,
1999: 58). Keramik menjadi salah satu jenis data yang banyak ditemukan dalam
dunia arkeologi, karena pembuatan keramik sendiri merupakan sebuah penemuan
besar yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dimulai dari masa bercocok
tanam dan berkembang pada masa perundagian, bahkan sampai sekarang manusia
masih menggunakan keramik untuk berbagai kebutuhan. Keramik dan tembikar banyak
ditemukan karena merupakan benda budaya yang berpotensi tinggi untuk bertahan
terhadap kondisi lingkungan dan cuaca. Kedua jenis benda
tersebut hampir sama, yang membedakan adalah suhu pembakarannya. Tembikar
secara umum dibuat dengan suhu pembakaran 500º-800º C, yaitu suhu tertinggi
yang dapat dicapai pada pembakaran secara terbuka, sedangkan pembakaran keramik
biasanya sampai pada suhu di atas 1300º C (Prijono, 2000:132). Proses pembakaran
kedua jenis benda ini yang membuat mereka mampu bertahan pada cuaca maupun
iklim yang berubah-ubah.
Tembikar ataupun
keramik, umumnya benda-benda yang berbahan dasar dan dibakar memiliki peranan
yang sangat besar, sehingga benda-benda tersebut memiliki peranan yang sangat
besar dalam studi arkeologi. Penemuan tembikar menunjukan berkembangnya
kebudayaan manusia. Dari kegiatan penggalian tembikar, setidaknya ada tiga
bukti yang kita peroleh, sebagai berikut:
1. Bukti
penanggalan
2. Bukti
distribusi, sebagai contoh alur perdagangan
3. Bukti
terkait dengan fungsi atau status
Berdasarkan bukti-bukti tersebut,
diketahui ada beberapa fakta bahwa setiap benda dibuat untuk tujuan tertentu,
dibuat pada tempat tertentu, dibuat pada waktu tertentu. Temuan tembikar dalam
perannya sebagai bukti penanggalan dapat dilihat pada temuan tembikar pada
sebuah situs, biasanya dapat diidentifikasi bagaimana cara pembuatannya, dari
apa dibuatnya, apa tujuan pembuatannya, atau bahkan darimana asal pembuatannya
serta siapa yang membuatnya. Konteks yang berbeda-beda dapat dilihat dari
perbedaan bentuk, struktur, teknologi dan dekorasi. Kita dapat membangun sebuah
gambar mengenai perbedaan aspek-aspek dengan memperlajari kejadian sebelumnya
tentang berbedaan tipe atau karakteristik dalam konteks yang bebeda, sehingga
memungkinkan kita untuk membuat sebuah urutan pertanggalan relatif. Untuk
membuat tanggalan absolut, kita perlu menemukan sumber lain sebagai bukti
pelengkap ataupun melalui teknik ilmiah, biasanya membutuhkan material lain selain
tanah liat, seperti Carbon dating. Tembikar
sebagai bukti perdagangan dibuktikan dari banyak ditemukannya temuan-temuan
benda dari tanah liat di berbagai wilayah. Tembikar sebagai bukti status atau
perananan dilihat dari lokasi ataupunragam hias yang ada pada data saat
ditemukan.
Dari
berbagai bentuk penelitian, khususnya terhadap studi keramik, banyak ditemukan
manfaat dalam penelitian arkeologi. Studi tentang keramik memiliki peran
penting, melalui berbagai bentuk penelitian, sebagai berikut:
1.
Teknik pembuatan: ada beberapa teknik
pembuatan dalam membuat benda-benda dari tanah liat, sebagai contoh teknik
secara manual (tek.coil, tek. tatap batu, tek. lempengan) ataupun menggunakan
alat (tek.putar dan tek.cetak). Melalui teknik pembuatan benda, kita dapat
melihat bahwa pembuatan dengan teknik-teknik manual menghasilkan benda yang
masih sederhana dan melihat bahwa kebudayaannya belum terlalu maju, sedangkan benda-benda
yang sudah menggunakan alat akan menghasilkan bentuk yang lebih beragam. Adanya
alat menandakan suatu kebudayaan sudah lebih maju. Begitupun dengan teknik
pemabakaran, bila benda yang dihasilkan berupa tembikar (pembakaran 500º-800º
C) dibuat dengan pembakaran terbuka, sehingga kualitasnya belum sebagus dengan
benda-benda porselin. Adanya pengglasiran juga menunjukan kemajuan pembuatan
tembikar atau keramik. Semakin tinggi tingkat pembakar, semakin kompleks
kandungan zat pembuatan alat dari tanah liat, menunjukan teknik dan teknologi
yang berkembang dan sudah maju, mencirikan suatu kebudayaan yang besar.
2.
Ragam hias: ragam hias benda dari berupa
goresan, ragam hias geometris, hingga sulur-suluran dan ragam hias yang lebih
kompleks lainnya menunjukan pola pikir manusia yang sudah berkembang dan
mencirikan suatu kebudayaan pada satu wilayah di waktu tertentu. Ragam hias dan
bentuk juga biasanya mencirikan kehidupan sosial ataupun bentuk-bentuk pemujaan
suatu masyarakat, sehingga melalui ragam hias kita dapat memberikan suatu
gambaran tentang kehidupan sosio-religius suatu peradaban.
3.
Kronologi: dengan penemuan gerabah pada
suatu situs, melalui klasifikasi morfologi, teknologi dan stilistik kita dapat
mengidentifikasi alur persebaran maupun perkembangan bentuk dan ragam hias
melalui studi komparatif dengan temuan lainnya ataupun wlayah lain. Sehingga
melalui peninggalan, kita dapat menemukan alur persebaran ataupun perdangangan
dari satu wilayah ke wilayah lain.
4.
Jumlah temuan: banyak-sedikitnya jumlah
temuan di suatu tempat, mengidikasikan fungsi dari tempat tersebut. Bisa
mengidentifikasikan suatu tempat sebagai sebuah pusat pembuatan gerabah atau
keramik, sebagai pemukiman, sebagai tempat yang disakralkan dapat juga melihat
dari jumlah temuannya. Namun, harus dilengkapi dengan penelitian lainnya untuk
menghasilkan hasil yang tepat.
Sebagai
Sebagai
contoh kasus, diambil dari studi arkeologi terkait Aspek Arkeologis Artefak
Tembikar dan Keramik Situs Pugung Raharjo dan Balung Jeruk Lampung Timur oleh
Sudarti Prijono. Situs ini merupakan situs megalitik yang terletak di wilayah
desa Pugung Raharjo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah. Situs ini
merupakan dataran yang bergelombang dengan gundukan-gundukan tanah serta parit
yang dalam. Dalam situs ini terdapat 7 buah punder berundak yang terdiri dari 1
sampai 3 undak, komplek batu mayat, batu dakon, batu lumpang, batu bergores,
arca batu, dan salah satu dari komplek ini adalah benteng tanah yang dilengkapi
dengan parit. Temuan lainnya berupa fragmen keramik yang berasal dari dinasti
Tang, Sung, Yuan, Ming, Ching dan Vietnam, tembikar dan manik-manik.
Lalu
pada situs Balung Jeruk, di desa Trimulyo, dikenal sebagai blok Tridadi
terletak 10 meter dari tepian sungai Way Sekampung. Situs ini ditandai dengan
tatanan batu kali yang tertutup oleh tanah dan di atasnya berdiri sebuah
menhir. Adapun artefak lepas yang tersebar, seperti pecahan keramik yang
berasal dari dinasti Sung, Yuan, Ming, Ching, Thailand, dan Vietnam, tembikar,
manik-manik dan mata uang VOC. Melalui analisis, diketahui bahwa bahan
pembuatan tembikar pada kedua situs ini umumnya terbuat dari campuran tanah
liat yang dihaluskan dan pasir kemudian dibentuk lalu dibakar. Pengamatan
terhadap bekas yang ditinggalkan oleh pembuatnya menunjukan bahwa pembuatan
tembikar umumnya menggunakan roda putar, teknik tangan dan teknik tatap landas.
Teknik-teknik tersebut dapat dilacak melalui bekas putaran roda, bekas jari
yang tertinggal pada dinding tembikar. Dilakukan juga analisis terhadap butiran
pasir. Butiran pasir di dalam temper umumnya masih utuh, yaitu berbentuk
butiran kecil dan agak runcing dengan lapisan-lapisan tanah liat yang mengikat pasir. Ciri lain dapat pula dilihat
dari sisa pembakaran yang tidak sempurna, seperti warna yang tidak merata pada
tembikar. Tanda ini memberikan arti bahwa dipanaskan pada suhu rendah.
Pembakaran pada suhu rendah mengindikasikan bahwa pembakaran dilakukan secara
terbuka (tanpa tungku pembakaran), dimana suhu tertinggi biasanya sekitar
500º-800º C.
Analisis
terhadap bahan tembikar menunjukan tembikar dibagi menjadi dua jenis, yaitu
tembikar kasar dan halus. Tembikar kasar terbuat dari temper dengan bahan
campuran tanah liat dan pasir, sehingga struktur tembikar menjadi kasar dan
berpori, sedangkan tembikar halus dibuat dari tanah liat yang halus tanpa
diberikan pasir. Tembikar halus hanya ditemukan pada situs Pugung Raharjo.
Dilihat
dari bahan keramik dibedakan menjadi dua, stoneware dan porselin. Untuk
mengetahuinya jenis bahan dapat dilihat dari badan keramik yang tidak diglasir
ataupun dilapisi dengan oksida logam untuk warna. Keramik stoneware adalah
keramik dengan badan tidak transparan walaupun dibakar pada suhu tinggi dan
umumnya berwarna abu-abu. Keramik berbahan porselin adalah keramik dengan tubuh
berwarna putih, keras, menyerupai kaca dan transparan. Fragmen keramik di situs
Pugung Raharjo umumnya berupa earthenware dan stoneware berwarna abu-abu, tidak
transparan dan keras, memiliki lapisan permukaan berwarna keputihan sampai krem
dan di bawah lapisan terdapat hiasan yang umumnya dibuat dengan teknik gores,
lukis dan tekan. Keramik yang ditemukan di situs Pugung Raharjo setelah
diidentifikasi sebagian besar berasal dari Cina, sisanya dari Vietnam dan
Thailand. Keramik dengan ciri berbahan dasar batuan abu-abu serta belang
kecoklatan, lapisan glasir tunggal berwarna kehijauan, retak-retak, bagian
belakang tidak berglasir, polos, bagian muka terdapat luka bekas tumpangan,
lingkaran kaki rendah dan tebal tinggi bersudut, dan dasar bawah tidak berglasir
merupakan ciri keramik dari masa dinasti Sung, abad 10M, menurut Adhyatman
(1981). Lalu keramik yang berasal dari porselin warna putih keabu-abuan,
berglasir tunggal abu-abu atau kebiruan mengkilat yang melapisi bagian dalam
dan luar, hiasan berupa sulur-suluran dengan teknik gores di bawah glasir,
lingkaran kaki tinggi runcing ke bawah, dan dasar bagian glasirnya tidak merata
serta terdapat bekas tumpangan pembakaran. Keramik dengan ciri ini berasal dari
dinasti Sung abad 11-12M.
Ditemukan
juga keramik dengan ciri berbahan dasar berasal dari poselin keabu-abuan,
glasir tunggal tipis dan tidak merata berwarna putih kebiru-biruan atau putih
kehijauan tidak mengkilat, sedangkan bagian luar berglasir sampai ke kaki.
Terdapat hiasan berupa relief cap berupa sulur-suluran atau polos. Bagian bawah
berlekuk dan tidak berglasir. Menurut Adhyatman (1981), keramik jenis ini
berasal dari dinasti Yuan abad 13-14M. Lalu ditemukan juga keramik dari Vietnam
dan Thailand dari abad 14-15M, walaupun jumlahnya hanya sedikit.
Untuk
temuan keramik di situs Balung Jeruk, diantaranya berasal dari dinasti Yuan
abad 13-14 M, dinasti Sung abad 11-12 M dan sebagian besarnya berasal dari masa
yang lebih muda dibandingkan dengan temuan di situs Pugung Raharjo. Hal ini
dilihat dari analisis morfologi, yaitu keramik dari porselin putih kasar,
hiasan flora berwarna biru di bawah glasir yang dibuat dengan teknik lukis,
bagian dalam polos, lingkaran kaki rendah tidak berglasir, sedangkan dasar
bawahnya berglasir. Ciri keramik tersebut mengindikasikan keramik dari dinasti
Ming abad 16-17 M, menurut Adhyatman. Temuan keramik Cina lainnya berasal dari
dinasti Ching (1644-1912). Lalu ditemukan keramik Eropa, namun jumlahnya sangat
sedikit.
Dilihat
dari analisa keramik dan kronologi masa pembuatannya maka diyakini situs Pugung
Raharjo diperkirakan lebih dahulu dihuni, sedangkan situs Balung Jeruk baru
kemudian. Untuk memahami hubungan antara manusia yang menghuni satu situs
dengan situs lain, selain temuan hasil budaya dan interaksi antara manusia
dengan lingkungannya juga perlu dibahas. Persebaran dan hubungan benda-benda
arkeologi yang terdapat di dalam satuan ruang tertentu merupakan pusat
perhatian kajian arkeologi permukiman. Persebaran dan hubungan yang terjadi di
dalam sebuah situs dapat dianggap sebagai pencerminan dari tindakan dan gagasan
sekelompok keluarga atau sebuah komunitas, sedangkan pada satuan ruang wilayah
dapat dianggap sebagai pencerminan budaya sekelompok komunitas atau sebuah
masyarakat (Mundardjito, 1993).
Sementara
itu masyarakat yang mendiami suatu lingkungan yang berbeda cenderung menjalin
hubungan sosial satu dengan lainnya guna memenuhi kebutuhan mereka, yaitu
melakukan hubungan sosial atau interaksi baik secara individu maupun kelompok
(Ardika, 1998). Fenomena tersebut berkaitan dengan temuan di kedua situs
tersebut. Temuan artefak keramik di situs Pugung Raharjo secara kronologi lebih
tua, didominasi oleh keramik dari dinasi Sung (11-12 M) dan dinasti Yuan (13-14
M), sedangkan temuan artefak keramik di situs Balung Jeruk didominasi keramik
dari masa dinasti Ming (16-17 M). Dari hasil analisis dan pembahasan tersebut,
artefak tembikar dan keramik memiliki potensi untuk merekonstruksi kehidupan
manusia baik sebagai pembuat maupun pemakainya. Persebaran keramik dan tembikar
di kedua situs tersebut merupakan salah satu dari identitas budaya manusia
sebagai bukti dari kelanjutan hunian. Persebaran temuan tembikar dan keramik
dapat digunakan untuk meruntut jalur migrasi populasi manusia atau keturunannya
di masa lampau. Digunakan juga bukti-bukti lain sebagai data pendukung dalam
menjelaskan permasalah budaya.
Daftar Pustaka
Harkantiningsih, Naniek, dkk. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Orton, Clive, Paul Tyers and Alan
Vince.1993. Pottery in Archaeology.
Great Britain: Cambridge University Press.
Prijono, Sudarti. 2000. Kronik Arkeologi, Perspektif Hasil
Penelitian Arkeologi di Jawa Barat, Kalimantan Barat dan Lampung: Aspek
Arkeologis Artefak Tembikar dan Keramik Situs Pugung Raharjo dan Balung Jeruk
Lampung Timur. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.