SEDIKIT
RIWAYAT
Oleh
: R. Soekmono
Pendahuluan
Dengan surat keputusan
Pemerintah tanggal 14 Juni 1913 no. 63 berdirilah “Oudheidkundige Dienst in
Nederlandsh – Indie” (Jawatan Purbakala) sebagai badan tetap yang bertugas
dalam kepurbakalaan menggantikan “Commisie in Nederlandsch-Indie voor
oudheidkundig onderzoek op Java en Madoera. Commisie ini dibentuk pada tahun
1901 yang merupakan badan sementara dalam bentuk “panitya”. Panitya ini, yang
terdiri dari 3 orang, dan ketika ketuanya yang pertama, Dr. J.L.A. Brandes,
meninggal dunia empat tahun kemudian. Pada tahun 1910 diangkat seorang ketua
baru, Dr. N.J. Krom, ia menyadari bahwa tugas yang dibebankan itu tidak mungkin
dilaksanakan oleh badan yang bersifat sementara saja, karena tugas tersebut
harus disertai penyelidikan dan penelitian yang mendalam, terus menerus dan
didasari oleh keilmuan khusus dan tersendiri.
Masa
Permulaan
Atas usaha Krom,
dihapuslah Commisie yang ia ketuai dan lahirlah Jawatan Purbakala dengan
kepalanya yang pertama Krom sendiri. Adapun tugas dari Jawatan baru itu ialah :
menyusun, mendaftar dan mengawasi peninggalan-peninggalan purbakala diseluruh
kepulauan. Disamping menentukan tugas baru bagi Jawatannya itu, Krom tidak lupa
meletakkan dasar-dasar organisasi baru yang akan menjamin dapatnya tugas itu
dilaksanakan sebaik mungkin. Selain itu usaha lain yang telah dilakukan oleh
Krom adalah memperbesar jumlah tenaga ahli dengan pertama-tama mencari calon
pengganti kepala Jawatan. Menjelang akhir tahun 1914 didapatkanlah calon
pengganti kepala jawatan tersebut dalam diri Dr. F.D.K Bosch.
Dalam pertengahan tahun
1915 Krom pergi ke negeri Belanda untuk cuti, tetapi ia tidak kembali lagi,
sehingga dengan demikian hanya 2 tahun setelah ia berkempatan melaksanakan
rencana-rencananya dan memimpin Jawatan. Sepintas tak nampak apa yang telah dikerjakan
oleh Krom selama 2 tahun, akan tetapi nyatanya perletakan dasar bagi
kelangsungan Jawatan Purbakala dan bagi penyelidikan sejarah kuna dan ilmu
purbakala Indonesia sudah tidak ternilai kepentingannya.
Perkembangan
di bawah pimpinan Bosch
Dengan kepergian Krom,
diangkatlah Bosch menjadi Kepala Jawatan (pertengahan tahun 1916). Dalam
kepemimpinannya, ia lebih tertarik kepada persoalan sampai dimana
peninggalan-peninggalan purbakala itu dapat berfungsi kembali. Dasar pemikiran
ini menjadi sumber dari adanya 2 macam usaha : 1) penyelidikan yang mendalam
terhadap unsur-unsur Indonesia dalam pembangunan monumen-monumen yang begitu
megah dan indah, 2) mengembalikan kemegahan serta keindahan bangunan-bangunan
yang telah runtuh dengan jalan membina kembali setelah rekonstruksinya diatas
kertas dapat dipertanggungjawabkan.
Mengenai pembinaan
kembali sesuatu bangunan yang sudah rusak sekali atau runtuh Bosch merintis
babak baru dan menyimpang dari garis-garis yang telah ditetapkan dan ditaati
oleh Krom, sehingga terjadi pertentangan yang sengit diantara keduanya. Di
suatu sisi Bosch ingin merekonstruksi bangunan itu dan memasang bagian candi
yang jatuh yang di timbun tanah, di sisi lain Krom menganggap itu adalah untuk
memalsukan sejarah karena ia menganggap semua itu adalah ilmu ilmiah semata. Dalam menyelesaikan
pertentangan tersebut pemerintah membentuk suatu panitia khusus yang tugasnya
melakukan penelitian yang sedalam-dalamnya mengenai persoalan tersebut. Pada
perselisihan ini Bosch menang karena panitia yang di bentuk pemerintah menilai
bahwa rekonstruksi yang dilakukan oleh
Bosch dapat dipertanggungjawabkan dan keyakinan panitia atas pendapat Bosch
yang menyatakan ada hubungan yang masih hidup antara alam pikiran Indonesia
sekarang dan masa silamnya.
Demikianlah maka di
bawa pimpinan Bosch Jawatan Purbakala telah mencapai kedewasaanya baik dalam
bidang pekerjaan maupun dalam perumusan tugas serta organisasi, lebih-lebih
lagi ketika setelah bertahun-bertahun diusahakan akhirnya dalam tahun 1931
dapat di undangkan monumenten-ordonantie (staatsblad 1931 no. 238) yang menjamin pengawasan dan perlindungan
peninggalan purbakala. Namun pada tahun 1932 terjadi penyempitan lapangan
kerja, karena pada waktu itu terjadi jaman “malaise” yang memaksa pemerintah melakukan penghematan
besar-besaran dalam bidang keuangan. Sejak saat itu pula semua pekerjaan
Jawatan Purbakala yang tidak mendesak harus diberhentikan, disamping itu
kekecewaan Bosch bertambah saat terjadi kebakaran yang hebat di Paris yang
menyebabkan kepurbakalaan Indonesia yang dipertontonkan, habis terbakar dan
menelan semua benda pameran termasuk patung-patung emas, perunggu dan batu
beserta benda-benda purbakala lainya. Demikianlah tahun-tahun terakhir pimpinan
Bosch tidak hanya ditandai kesuksesan namun juga kemalangan.
Jawatan
Purbakala di bawah Stutterheim
Pertengahan tahun 1936
Bosch cuti ke negeri Belanda, kemudian mengundurkan diri dan tidak akan kembali
lagi. Maka digantikan Dr. W.F Stutterheim sebagai kepala jawatan. Pada masa
kepemimpinaanya terdapat kesulitan di bidang tenaga ahli, paling sedikit ia
menginginkan tambahan ahli-ahli khusus dalam bidang : islamologi, sinologi,
keramologi, sejarah kesenian, dan dalam bidang kimia (chemical archaeology
sebagai cabang yang terbaru dan teryata memang sangat penting untuk penelitian
mineral, bahan-bahan dan untuk pemeliharaan) agar tidak ketinggalan dari luar
negeri. Dalam masa kepemimpinannya dalam Jawatan purbakala yang dapat
dikerjakan Stutterheim antara lain
pembinaan kembali candi Siwa (1938), pada tahun 1936 dilakukan penggalian
terhadap candi Gebang dan selesai
dilakukan pembinaan pada tahun 1939, penyelidikan terhadap candi Wukir,
melakukan pembinaan di berbagai tempat seperti di Penanggungan (1936-1939), di
Sumberawan (1937-1938), melakukan rekonstruksi di atas kertas di Ratuboko
(sejak 1938) dan candi Jawi (1938-1941), perbaikan dan pembinaan kembali candi
Singosari ( selesai 1937), gapura di Madura 1936-1940. Di Cirebon perbaikan
terhadap penyimpanan barang-barang di Gunung Jati, gapura sunyaragi dan masjid
panjunan (1938-1941). Di Makassar perbaikan benteng Ujung Pandang oleh yayasan
Ford Rotterdam (1937-1939) demikian juga di kesultanan Yogyakarta dilakukan
perbaikan terhadap taman sari dan Gedong panggung (1938). Di bidang prasejarah
dilakukan penyelidikan di Sul-Sel, Bojonegoro, Bondowoso dan Flores.
Jaman
pemerintahan Jepang
Dengan runtuhnya
pemerintahan Kolonial Hindia Belanda pada tanggal 8 maret 1942 hilanglah pula
tenaga inti dari Oudheidkundige Dients, yaitu dengan ditawannya semua tenaga
bangsa Belanda. Stutterheim kemudian dilepas lagi selama beberapa bulan dengan
mendapat tugas dari Jakarta untuk menyusun laporan dan saran-saran tertulis
tentang usaha pemeliharaan peninggalan benda purbakala, sampai ia meninggal
pada bulan September 1942.
Pada jaman pemerintahan
Jepang banyak gedung bagian purbakala diubah fungsinya seperti kantor pusatnya
di Jakarta menjadi kantor-kantor urusan
barang barang purbakala yang namanya masih hidup tetapi nyatanya sudah jadi lumpuh dan mati, maka berhentilah
kantor purbakala itu sebagai tempat research kepurbakalaan karena semakin
kurangnya tenaga ahli. Dari pemerintah Jepang sendiri tidak ada upaya untuk
membimbing dan mendidik bangsa Indonesia. Bimbingan dari Dr. Poerbatjaraka
sangat terbatas sekali, baik mengenai waktunya maupun mengenai bidangnya.
Ditambah lagi dengan diubahnya status bagian bangunan di Prambanan menjadi
kantor tersendiri dengan kedudukan di Yogjakarta. Maka kantor di Jakarta
berhenti sebagai kantor pusat. Keadaan ini disebabkan karena kerja lapangan
memang selalu dilakukan oleh orang-orang kita sendiri yang serta kepandaian khusus,
sedangkan tenaga-tenaga teknik menengah di bawah pimpinan sdr Suhamir masih
utuh. Maka hilangnya pimpinan bangsa Belanda praktis tidak menimbulkan
kesulitan apalagi berhentinya pekerjaan. Di samping itu pembinaan dan
pelestarian dilakukan juga pada sebuah candi Perwara dan bangunan stupa
digugusan plaosan lor (1943). Dari kepurbakalaan Islam dapat pula diselesaikan
perbaikan-perbaikan terhadap makam Sunan Drajat di Tuban (1944).
Dapat dikemukakan bahwa
dalam jaman pemerintahan Jepang kita telah mendapatkan pelajaran yang sangat
berguna di Borobudur. Seorang pembesar Jepang di Magelang mengetahui bahwa di
belakang timbunan batu-batu yang mengelilingi kaki candi ada relief-relief yang
melukiskan adegan Karma Wibhangga telah membongkar bagian tenggara timbunan batu-batu tersebut.
Pekerjaan ini dilakukan secara ceroboh yaitu asal bongkar saja dan tidak dapat di kembalikan ditempatnya
yang asli. Maka untuk menutupi kecerobohan tadi para petugas merapikan bagian
yang terbuka.
Pekerjaan
kepurbakalan dalam alam merdeka
Meledaknya revolusi
Indonesia pada hari diproklamirkannya Negara Republik Indonesia. Maka pekerjaan
kepurbakalaan memasuki babakan baru lagi dan seiring dengan jalannya revolusi
pekerjaan tersebut mengalami perubahan dan perkembanganya yang sejalan dengan
babak yang dilalui revolusi fisik Jawatan Purbakala menghadapi pelbagai
pergolakan dan perubahan yang langsung mengenai tubuh serta peralatannya.
Demikian maka dengan nama “Jawatan Urusan Barang-Barang Purbakala” kantor pusat
di Jakarta. tinggal 1 tenaga ahli yaitu
Sdr. Amin Soendoro, yang sudah bekerja sejak jaman jepang.
Pada bulan desember
1945 kantor telah di duduki oleh tentara Belanda, barang-barang Jawatan
terutama arsipan sejarah, perpustakaan dan dokumentasi kemudian dipindahkan ke
museum oleh Sdr. Amin Soendoro. Dengan
dilancarkannya peperangan secara terbuka oleh tentara Belanda terhadap
Indonesia tanggal 21 Juli 1947 habislah riwayat Jawatan Urusan Barang-Barang
Purbakala di Jakarta. Beberapa bulan kemudian kantor pusat Jawatan tersebut
dijadikan kantor pusat Oudheidkundige Dienst dikepalai oleh prof. Dr. Bernet
Kempers. Berbeda dengan di Jakarta, kantor di Prambanan dapat melanjutkan
kegiatan pemugaran pada candi siwa dan melakukan penggalian di Plaosan bagian
utara yang mana berhenti ketika Yogyakarta dikusai oleh Belanda pada tanggal 19
Desember 1948. Pada tahun 1949 yang bekerja dalam bidang kepurbakalaan adalah
Oudheidkundige Dienst in Indonesia, karena kembalinya daerah Yogyakarta kepada
Indonesia. Mulai tahun 1950 namanya berubah menjadi “Jawatan Purbakala R.I.S”
sehubungan dengan dibentuknya Republik Indonesia Serikat, namun tahun 1951
berubah lagi menjadi “Dinas Purbakala”. Pada tahun 1953 genaplah Dinas
Purbakala berusia 40 tahun, setelah 40 tahun lamanya dipimpin oleh bangsa
asing, sejak pertengahan tahun 1953 dipegang oleh bangsa Indonesia sendiri yaitu
R. Soekmono yang merupakan anak didik Bernet Kempers bersama Ny. S. Suleiman.
Menjelang
masa datang
Setelah 10 tahun
lamanya 1953-1963 mencoba dan mengukur kekuatan sendiri untuk melaksanakan
tugas kepurbakalaan. Dapatlah dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional
menghadapi masa depanya dengan penuh harapan. Proyek pertama yang dilakukan
adalah perbaikan candi Borobudur dengan cara memperbaiki pengukurannya dan
perenovasian, proyek ke-2 adalah penggalian besar-besaran terhadap bekas
ibukota majapahit dengan tujuan menampakkan kembali satu-satunya ibukota jaman
purba yang diketahui sisa-sisa dan letaknya dan untuk menghadapi penggalian
liar oleh penduduk. Proyek ke-3 adalah penggalian besar-besaran dalam bidang prasejarah
yaitu yang sudah terpilih sebagai hasil survei, ialah daerah Bekasi-Krawang-Cikampek,
daerah Sangiran, daerah gilimanuk dan di pulau Flores. Dari ke-empat tempat
tersebut daerah Sangiran sudah dijadikan joint project antara dinas purbakala
dan peninggalan Nasional, Direktorat Geologi (Bandung) dan Universitas Gajah
Mada. Yang akan segera dilaksanakan penggaliannya adalah daerah Gilimanuk yang tidak begitu luas dan
diharapkan dapat diselesikan secepatnya. Proyek yang ke-4 adalah penelitian
kembali seluruh bahan-bahan epigrafi, yang sebagian sudah diterbitkan tetapi sesungguhnya hanya setengah-tengah,
lagipula belum sistimatis.
Sampai sekarang
pekerjaan masih dilakukan dengan cara dan alat yang masih mengikat pada jamanya
terlalu sederhana misalnya : mengangkut batu dengan tenaga manusia, membuang
air saat penggalian dengan cara menimba, survei dengan melihat-lihat,
tanya-tanya dan coba-coba menggali, membersihkan candi dengan tangan dan sapu
lidi, dan masih banyak yang menunjjukan seberapa jauh ketinggalan kita
mengingat pesatnya kemajuan teknologi yang hasilya dapat dipergunakan bagi
keperluan kepurbakalaan. Sebagi contoh survei udara, di Indonesia belum
dipergunakan, sedangkan di luar negeri termasuk cara kolot meskipun semakin
terdesak oleh Geo-electric prospecting. Penentuan umur dengan radio-karbon
(Cl4) yang di Indonesia masih asing, sudah pula didampingi cara baru yaitu penggunaan
flour (F).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar