Translate

Selasa, 07 April 2015

Situs Pura Pegulingan

        Pura Pegulingan  terletak di desa Basangambu, Tampaksiring, Gianyar. Bentangan alamnya merupakan dataran tinggi yang terletak di sebelah timur Pura Tirta Empul. Alam sekitarnya merupakan area persawahan yang cukup subur. Pura Pegulingan merupakan situs purbakala yang sudah terdaftar dalam Cagar Budaya (Undang-Undang RI No 5 tahun 1992). Situs Pura Pegulingan merupakan situs living monument karena hingga saat ini masih di gunakan sebagai tempat suci oleh masyarakat disekitar situs ini.
Pura Pegulingan memiliki 3 halaman yang masing-masing halami dibatasi tembok keliling dengan pintu masuk pada masing-masing halaman yang berbentuk candi bentar. Halaman tersebut yaitu Jaba Sisi (nista mandala), Jaba Tengah (madya mandala), Jeroan (utama mandala). Di halaman jeroan pura ini terdapat sebuah bangunan kuno berbentuk stupa, oleh masyarakat disebut Padmasana Agung.
Pada tanggal 19 Januari 1983 dilakukan penelitian pendahuluan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali. Setelah dilakukan ekskavasi oleh instansi tersebut, ditemukan pondasi bangunan (candi) yang berbentuk segi delapan. Ditemukan pula peripih yang berisi materai tanah liat, mangkuk perunggu dan logam (emas dan perunggu). Materai tersebut berisi mantra buddhistis yang ditulis dengan huruf Pra-Nagari dan bahasa Sansekerta. Materai dengan enam baris kalimat yang telah dibaca oleh Drs. M. Boechari sebagai berikut :
1.      Ye dharmā hetu prabha
2.      Wa hetuntesān tathāgata
3.      Hyawadat tesān-ca yo ni
4.      Rodha Çwamwadi ma
5.      Om ye-te shawa om krate
6.      ........................ra pramblinih..............
Artinya :
Sang Buddha (tathāgata) telah bersabda demikian : Dharma ialah sebab/pangkal dari segala kejadian (segala yang ada). Dan juga Dharma itu sebab/pangkal dari segala penghancuran penderitaan. Demikianlah ajaran (Sang Buddha) (Laporan Studi Teknis, 1984/1985 : 45 dalam Vajrapani, 2013 : 25)

Hasil pemugaran Candi Pegulingan secara umum dapat dikatakan bahwa secara arsitektural candi berbentuk stupa yang yang dikelilingi oleh parit yang berisi air. Secara horizontal dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki candi, badan candi dan atap candi. Bagian kaki berbentuk segi delapan, terdapat relief gana (manusia cebol yang sedang menyangga bangunan), bagian tubuh candi berbentuk melingkar yang dilengkapi dengan pelipit dan garis-garis melingkar simetris dan relung arca yang berada pada ke empat arah mata angin. Pada bagian kemuncak berupa harmika (berbentuk persegi), yasti ( tiang) dan catra (seperti payung yang berada pada yasti) (Ardika dkk, 2013 : 237) .
Fragmen-fragmen bangunan stupa yang ditemukan ditempatkan dalam suatu bangunan suci. Fragmen-fragmen itu diantaranya adalah, fragmen gana, hiasan-hiasan candi, fragmen arca perwujudan. Selain itu ditemukan juga miniatur stupa yang tingginya sekitar 80 cm. Arca Buddha yang ditemukan di Pura Pegulingan mungkin berjumlah lima buah, akan tetapi pada saat dilakukan penelitian hanya ditemukan empat buah. Dari empat buah yang ditemukan, dua diantaranya dapat diketahui sikap tangan (mudra), yaitu dharmacakra mudra yang berkedudukan di tengah, dan bhumisparsa mudra yang menempati arah timur. Arca Pegulingan 3 mungkin dalam sikap tangan abhaya mudra yang menempati arah utara. Hal ini diketahui dari pergelangan tangan kanan yang masih tersisa, dan tangan kiri dalam sikap dhyana. Berdasarkan arca Tathagata yang ditemukan di Pura Pegulingan dapat diperkirakan pada masa itu terdapat lima arca Tathagata (panca Tathagata) yaitu sesuai dengan Sanghyang Kamahayanikan (Panitia Penyusun Penterjemah, 1979 : 211-214) dalam Vajrapani, 2013 : 33)
Sumber-sumber tertulis sejauh ini yang secara langsung mengacu pada kronologis Stupa Pegulingan belum ada. Namun dari temuan materai-materai tanah liat yang memuat mantra-mantra Buddha dan sejumlah lempengan emas yang bertulis ye te mantra dapat diperkirakan bahwa bangunan Stupa Pegulingan berasal dari sekitar abad 9-10 Masehi, sebagai tempat pemujaan Agama Buddha.
 Lampiran Foto









   

                        
Daftar Pustaka
Ardika, I Wayan (dkk). 2013. Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar : Udayana University Press
Vajrapani, Mpu Sri Dharmapala. 2013. Puja Parikrama Bauddha Kasogatan di Bali. Surabaya : 2014
Tim Penyusun. 2002. Sejarah Awal. Jakarta : Buku Antar Bangsa untuk Grolier Internasional.

Senin, 23 Maret 2015

RESUME DINAS PURBAKALA DAN PENINGGALAN NASIONAL

SEDIKIT RIWAYAT
Oleh : R. Soekmono
Pendahuluan
Dengan surat keputusan Pemerintah tanggal 14 Juni 1913 no. 63 berdirilah “Oudheidkundige Dienst in Nederlandsh – Indie” (Jawatan Purbakala) sebagai badan tetap yang bertugas dalam kepurbakalaan menggantikan “Commisie in Nederlandsch-Indie voor oudheidkundig onderzoek op Java en Madoera. Commisie ini dibentuk pada tahun 1901 yang merupakan badan sementara dalam bentuk “panitya”. Panitya ini, yang terdiri dari 3 orang, dan ketika ketuanya yang pertama, Dr. J.L.A. Brandes, meninggal dunia empat tahun kemudian. Pada tahun 1910 diangkat seorang ketua baru, Dr. N.J. Krom, ia menyadari bahwa tugas yang dibebankan itu tidak mungkin dilaksanakan oleh badan yang bersifat sementara saja, karena tugas tersebut harus disertai penyelidikan dan penelitian yang mendalam, terus menerus dan didasari oleh keilmuan khusus dan tersendiri.
Masa Permulaan
Atas usaha Krom, dihapuslah Commisie yang ia ketuai dan lahirlah Jawatan Purbakala dengan kepalanya yang pertama Krom sendiri. Adapun tugas dari Jawatan baru itu ialah : menyusun, mendaftar dan mengawasi peninggalan-peninggalan purbakala diseluruh kepulauan. Disamping menentukan tugas baru bagi Jawatannya itu, Krom tidak lupa meletakkan dasar-dasar organisasi baru yang akan menjamin dapatnya tugas itu dilaksanakan sebaik mungkin. Selain itu usaha lain yang telah dilakukan oleh Krom adalah memperbesar jumlah tenaga ahli dengan pertama-tama mencari calon pengganti kepala Jawatan. Menjelang akhir tahun 1914 didapatkanlah calon pengganti kepala jawatan tersebut dalam diri Dr. F.D.K Bosch.
Dalam pertengahan tahun 1915 Krom pergi ke negeri Belanda untuk cuti, tetapi ia tidak kembali lagi, sehingga dengan demikian hanya 2 tahun setelah ia berkempatan melaksanakan rencana-rencananya dan memimpin Jawatan. Sepintas tak nampak apa yang telah dikerjakan oleh Krom selama 2 tahun, akan tetapi nyatanya perletakan dasar bagi kelangsungan Jawatan Purbakala dan bagi penyelidikan sejarah kuna dan ilmu purbakala Indonesia sudah tidak ternilai kepentingannya.
Perkembangan di bawah pimpinan Bosch
Dengan kepergian Krom, diangkatlah Bosch menjadi Kepala Jawatan (pertengahan tahun 1916). Dalam kepemimpinannya, ia lebih tertarik kepada persoalan sampai dimana peninggalan-peninggalan purbakala itu dapat berfungsi kembali. Dasar pemikiran ini menjadi sumber dari adanya 2 macam usaha : 1) penyelidikan yang mendalam terhadap unsur-unsur Indonesia dalam pembangunan monumen-monumen yang begitu megah dan indah, 2) mengembalikan kemegahan serta keindahan bangunan-bangunan yang telah runtuh dengan jalan membina kembali setelah rekonstruksinya diatas kertas dapat dipertanggungjawabkan.
Mengenai pembinaan kembali sesuatu bangunan yang sudah rusak sekali atau runtuh Bosch merintis babak baru dan menyimpang dari garis-garis yang telah ditetapkan dan ditaati oleh Krom, sehingga terjadi pertentangan yang sengit diantara keduanya. Di suatu sisi Bosch ingin merekonstruksi bangunan itu dan memasang bagian candi yang jatuh yang di timbun tanah, di sisi lain Krom menganggap itu adalah untuk memalsukan sejarah karena ia menganggap semua itu adalah  ilmu ilmiah semata. Dalam menyelesaikan pertentangan tersebut pemerintah membentuk suatu panitia khusus yang tugasnya melakukan penelitian yang sedalam-dalamnya mengenai persoalan tersebut. Pada perselisihan ini Bosch menang karena panitia yang di bentuk pemerintah menilai bahwa rekonstruksi yang  dilakukan oleh Bosch dapat dipertanggungjawabkan dan keyakinan panitia atas pendapat Bosch yang menyatakan ada hubungan yang masih hidup antara alam pikiran Indonesia sekarang dan masa silamnya.
Demikianlah maka di bawa pimpinan Bosch Jawatan Purbakala telah mencapai kedewasaanya baik dalam bidang pekerjaan maupun dalam perumusan tugas serta organisasi, lebih-lebih lagi ketika setelah bertahun-bertahun diusahakan akhirnya dalam tahun 1931 dapat di undangkan monumenten-ordonantie (staatsblad 1931 no. 238) yang  menjamin pengawasan dan perlindungan peninggalan purbakala. Namun pada tahun 1932 terjadi penyempitan lapangan kerja, karena pada waktu itu terjadi jaman “malaise”  yang memaksa pemerintah melakukan penghematan besar-besaran dalam bidang keuangan. Sejak saat itu pula semua pekerjaan Jawatan Purbakala yang tidak mendesak harus diberhentikan, disamping itu kekecewaan Bosch bertambah saat terjadi kebakaran yang hebat di Paris yang menyebabkan kepurbakalaan Indonesia yang dipertontonkan, habis terbakar dan menelan semua benda pameran termasuk patung-patung emas, perunggu dan batu beserta benda-benda purbakala lainya. Demikianlah tahun-tahun terakhir pimpinan Bosch tidak hanya ditandai kesuksesan namun juga kemalangan.
Jawatan Purbakala di bawah Stutterheim
Pertengahan tahun 1936 Bosch cuti ke negeri Belanda, kemudian mengundurkan diri dan tidak akan kembali lagi. Maka digantikan Dr. W.F Stutterheim sebagai kepala jawatan. Pada masa kepemimpinaanya terdapat kesulitan di bidang tenaga ahli, paling sedikit ia menginginkan tambahan ahli-ahli khusus dalam bidang : islamologi, sinologi, keramologi, sejarah kesenian, dan dalam bidang kimia (chemical archaeology sebagai cabang yang terbaru dan teryata memang sangat penting untuk penelitian mineral, bahan-bahan dan untuk pemeliharaan) agar tidak ketinggalan dari luar negeri. Dalam masa kepemimpinannya dalam Jawatan purbakala yang dapat dikerjakan  Stutterheim antara lain pembinaan kembali candi Siwa (1938), pada tahun 1936 dilakukan penggalian terhadap candi Gebang  dan selesai dilakukan pembinaan pada tahun 1939, penyelidikan terhadap candi Wukir, melakukan pembinaan di berbagai tempat seperti di Penanggungan (1936-1939), di Sumberawan (1937-1938), melakukan rekonstruksi di atas kertas di Ratuboko (sejak 1938) dan candi Jawi (1938-1941), perbaikan dan pembinaan kembali candi Singosari ( selesai 1937), gapura di Madura 1936-1940. Di Cirebon perbaikan terhadap penyimpanan barang-barang di Gunung Jati, gapura sunyaragi dan masjid panjunan (1938-1941). Di Makassar perbaikan benteng Ujung Pandang oleh yayasan Ford Rotterdam (1937-1939) demikian juga di kesultanan Yogyakarta dilakukan perbaikan terhadap taman sari dan Gedong panggung (1938). Di bidang prasejarah dilakukan penyelidikan di Sul-Sel, Bojonegoro, Bondowoso dan Flores.
Jaman pemerintahan Jepang  
Dengan runtuhnya pemerintahan Kolonial Hindia Belanda pada tanggal 8 maret 1942 hilanglah pula tenaga inti dari Oudheidkundige Dients, yaitu dengan ditawannya semua tenaga bangsa Belanda. Stutterheim kemudian dilepas lagi selama beberapa bulan dengan mendapat tugas dari Jakarta untuk menyusun laporan dan saran-saran tertulis tentang usaha pemeliharaan peninggalan benda purbakala, sampai ia meninggal pada bulan September 1942.
Pada jaman pemerintahan Jepang banyak gedung bagian purbakala diubah fungsinya seperti kantor pusatnya di Jakarta  menjadi kantor-kantor urusan barang barang purbakala yang namanya masih hidup tetapi nyatanya  sudah jadi lumpuh dan mati, maka berhentilah kantor purbakala itu sebagai tempat research kepurbakalaan karena semakin kurangnya tenaga ahli. Dari pemerintah Jepang sendiri tidak ada upaya untuk membimbing dan mendidik bangsa Indonesia. Bimbingan dari Dr. Poerbatjaraka sangat terbatas sekali, baik mengenai waktunya maupun mengenai bidangnya. Ditambah lagi dengan diubahnya status bagian bangunan di Prambanan menjadi kantor tersendiri dengan kedudukan di Yogjakarta. Maka kantor di Jakarta berhenti sebagai kantor pusat. Keadaan ini disebabkan karena kerja lapangan memang selalu dilakukan oleh orang-orang kita sendiri yang serta kepandaian khusus, sedangkan tenaga-tenaga teknik menengah di bawah pimpinan sdr Suhamir masih utuh. Maka hilangnya pimpinan bangsa Belanda praktis tidak menimbulkan kesulitan apalagi berhentinya pekerjaan. Di samping itu pembinaan dan pelestarian dilakukan juga pada sebuah candi Perwara dan bangunan stupa digugusan plaosan lor (1943). Dari kepurbakalaan Islam dapat pula diselesaikan perbaikan-perbaikan terhadap makam Sunan Drajat di Tuban (1944).
Dapat dikemukakan bahwa dalam jaman pemerintahan Jepang kita telah mendapatkan pelajaran yang sangat berguna di Borobudur. Seorang pembesar Jepang di Magelang mengetahui bahwa di belakang timbunan batu-batu yang mengelilingi kaki candi ada relief-relief yang melukiskan adegan Karma Wibhangga telah membongkar  bagian tenggara timbunan batu-batu tersebut. Pekerjaan ini dilakukan secara ceroboh yaitu asal bongkar saja  dan tidak dapat di kembalikan ditempatnya yang asli. Maka untuk menutupi kecerobohan tadi para petugas merapikan bagian yang terbuka.
Pekerjaan kepurbakalan dalam alam merdeka
Meledaknya revolusi Indonesia pada hari diproklamirkannya Negara Republik Indonesia. Maka pekerjaan kepurbakalaan memasuki babakan baru lagi dan seiring dengan jalannya revolusi pekerjaan tersebut mengalami perubahan dan perkembanganya yang sejalan dengan babak yang dilalui revolusi fisik Jawatan Purbakala menghadapi pelbagai pergolakan dan perubahan yang langsung mengenai tubuh serta peralatannya. Demikian maka dengan nama “Jawatan Urusan Barang-Barang Purbakala” kantor pusat di Jakarta.  tinggal 1 tenaga ahli yaitu Sdr. Amin Soendoro, yang sudah bekerja sejak jaman jepang.
Pada bulan desember 1945 kantor telah di duduki oleh tentara Belanda, barang-barang Jawatan terutama arsipan sejarah, perpustakaan dan dokumentasi kemudian dipindahkan ke museum oleh Sdr. Amin  Soendoro. Dengan dilancarkannya peperangan secara terbuka oleh tentara Belanda terhadap Indonesia tanggal 21 Juli 1947 habislah riwayat Jawatan Urusan Barang-Barang Purbakala di Jakarta. Beberapa bulan kemudian kantor pusat Jawatan tersebut dijadikan kantor pusat Oudheidkundige Dienst dikepalai oleh prof. Dr. Bernet Kempers. Berbeda dengan di Jakarta, kantor di Prambanan dapat melanjutkan kegiatan pemugaran pada candi siwa dan melakukan penggalian di Plaosan bagian utara yang mana berhenti ketika Yogyakarta dikusai oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948. Pada tahun 1949 yang bekerja dalam bidang kepurbakalaan adalah Oudheidkundige Dienst in Indonesia, karena kembalinya daerah Yogyakarta kepada Indonesia. Mulai tahun 1950 namanya berubah menjadi “Jawatan Purbakala R.I.S” sehubungan dengan dibentuknya Republik Indonesia Serikat, namun tahun 1951 berubah lagi menjadi “Dinas Purbakala”. Pada tahun 1953 genaplah Dinas Purbakala berusia 40 tahun, setelah 40 tahun lamanya dipimpin oleh bangsa asing, sejak pertengahan tahun 1953 dipegang oleh bangsa Indonesia sendiri yaitu R. Soekmono yang merupakan anak didik Bernet Kempers bersama Ny. S. Suleiman.
Menjelang masa datang
Setelah 10 tahun lamanya 1953-1963 mencoba dan mengukur kekuatan sendiri untuk melaksanakan tugas kepurbakalaan. Dapatlah dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional menghadapi masa depanya dengan penuh harapan. Proyek pertama yang dilakukan adalah perbaikan candi Borobudur dengan cara memperbaiki pengukurannya dan perenovasian, proyek ke-2 adalah penggalian besar-besaran terhadap bekas ibukota majapahit dengan tujuan menampakkan kembali satu-satunya ibukota jaman purba yang diketahui sisa-sisa dan letaknya dan untuk menghadapi penggalian liar oleh penduduk. Proyek ke-3 adalah penggalian besar-besaran dalam bidang prasejarah yaitu yang sudah terpilih sebagai hasil survei, ialah daerah Bekasi-Krawang-Cikampek, daerah Sangiran, daerah gilimanuk dan di pulau Flores. Dari ke-empat tempat tersebut daerah Sangiran sudah dijadikan joint project antara dinas purbakala dan peninggalan Nasional, Direktorat Geologi (Bandung) dan Universitas Gajah Mada. Yang akan segera dilaksanakan penggaliannya adalah daerah  Gilimanuk yang tidak begitu luas dan diharapkan dapat diselesikan secepatnya. Proyek yang ke-4 adalah penelitian kembali seluruh bahan-bahan epigrafi, yang sebagian sudah diterbitkan  tetapi sesungguhnya hanya setengah-tengah, lagipula belum sistimatis.

Sampai sekarang pekerjaan masih dilakukan dengan cara dan alat yang masih mengikat pada jamanya terlalu sederhana misalnya : mengangkut batu dengan tenaga manusia, membuang air saat penggalian dengan cara menimba, survei dengan melihat-lihat, tanya-tanya dan coba-coba menggali, membersihkan candi dengan tangan dan sapu lidi, dan masih banyak yang menunjjukan seberapa jauh ketinggalan kita mengingat pesatnya kemajuan teknologi yang hasilya dapat dipergunakan bagi keperluan kepurbakalaan. Sebagi contoh survei udara, di Indonesia belum dipergunakan, sedangkan di luar negeri termasuk cara kolot meskipun semakin terdesak oleh Geo-electric prospecting. Penentuan umur dengan radio-karbon (Cl4) yang di Indonesia masih asing, sudah pula didampingi cara baru yaitu penggunaan flour (F).