Masyarakat Bali pada umumnya
mempunyai kesadaran yang tinggi tentang masa lampaunya. Hal ini terbukti dengan
adanya kepercayaan yang kuat terhadap cikal bakal keluarga atau kawitan, tereh yang seringkali dikaitkan
dengan identitas keluarga atau kelompok (Ardika, 1995). Hasil budaya yang
diciptakan dan ditinggalkan, kemudian diwariskan oleh leluhur (kawitan) menjadi kebanggaan, simbol dan
bahkan identitas budaya dari generasi berikutnya. Berbagai jenis tinggalan
budaya tersebut yang kemudian disebut tinggalan arkeologi atau benda cagar
budaya, baik bergerak maupun tidak bergerak mengandung nilai dan mempunyai
makna sangat tinggi dalam kehidupan masyarakatnya.
Sebagian besar cagar budaya
yang berada di Bali bersifat living
monument yang artinya benda maupun bangunan cagar budaya masih menjadi
bagian yang hidup dalam aktivitas masyarakat Bali, walaupun banyak dari cagar
budaya tersebut telah mengalami pergeseran fungsi dari fungsi aslinya. Berbeda
dengan cagar budaya di wilayah Indonesia lainnya yang sebagian besar sifatnya dead monument atau tidak difungsikan
kembali. Adakalanya benda-benda yang dulunya diciptakan untuk memenuhi
kehidupan jasmani yang bersifat teknis kemudian berubah fungsi menjadi benda
religius, baik sebagai media pemujaan maupun untuk kepentingan religius
lainnya.
Dalam kondisi seperti itu secara sadar atau tidak sadar
mengharuskan setiap individu, kelompok dan golongan dalam masyarakat untuk
memelihara benda tersebut secara berkesinambungan agar terhindar dari kerusakan
dan kemusnahan serta terjaga kelestariannya. Masyarakat
yang ikut berperan aktif dalam menjaga, melindungi dan melestarikannya, sesuai
dengan prinsip pelestarian cagar budaya yang diatur dalam UU No 11 tahun 2010.
Pada prinsipnya terlestarikannya cagar budaya berkoherensi dengan keikutsertaan
atau partisipasi masyarakat secara keseluruhan (Ramadhani dkk, 2017: 8). Pemeliharaan
yang bertujuan melestarikan warisan budaya di Bali telah lama dilakukan oleh masyarakat.
Pemeliharaan tersebut masih tergolong pemeliharaan ringan yang tergolong non
khemis cukup dikoordinasikan oleh Bendesa
Adat (Kepala Desa Adat) ataupun tokoh-tokoh adat lainnya. Benda-benda yang
tergolong sangat disakralkan, biasanya ditunjuk orang-orang tertentu yang
memiliki kompeten dalam bidang keagamaan untuk merawatnya. Sedangkan pemeliharaan yang tergolong khemis,
masyarakat akan menkonsultasikan dengan lembaga-lembaga bersangkutan. Pada
pemeliharaan ini, masyarakat lebih berperan menyiapkan dan melakukan tatacara
keagamaan yang berkaitan dengan aktivitas tersebut (Wiguna, 2001: 251)
Sebagai salah satu contoh
pelestarian terhadap warisan budaya yang ada di Bali yaitu adanya pelestarian
terhadap prasasti-prasasti. Prasasti-prasasti tersebut sangat disakralkan oleh
masyarakat Bali karena mempunyai nilai-nilai yang sangat penting disisi lain
juga merupakan legitimasi masyarakat terhadap masyarakat itu sendiri serta
wilayahnya. Disakralkannya suatu warisan budaya terkait dengan eksistensi dari
warisan tersebut. Pemeliharaan terhadap prasasti-prasasti telah dilakukan oleh
masyarakat walaupun pemeliharaan masih ringan yang tergolong nonkhemis.
Pelaksanaan pemeliharaan prasasti dapat dilihat ketika hari raya Saraswati. Hari
Raya Sarawasti yang dipercaya sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan di dunia
ini, kita dapat melihat masyarakat Bali dalam menjaga warisan budaya berupa
prasasti-prasasti ataupun lontar-lontar yang diturunkan dari leluhur mereka. Dalam
pelaksanaanya semua lontar-lontar maupun prasasti-prasasti dibersihkan dan dirawat
sedemikian rupa, karena masyarakat percaya dengan merawatnya merupakan suatu bhakti kepada Tuhan pemberi ilmu
pengetahuan.

Daftar Pustaka
Anonim.
2010. Undang-Undang Republik Indonesia
No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Ardika, I Wayan. 1995. “Nilai dan Makna Arkeologi
Sebagai Sumberdaya Budaya”, makalah dalam Diskusi
Ilmiah Arkeologi Pelestarian, Perlindungan, dan Pemanfaatan Tinggalan Arkeologi
sebagai Sumberdaya Bangsa. Denpasar : IIAI Komda Bali.
Hadiyanta, IGN Eka. 2017. Dinamika
Pelestarian Cagar Budaya. Yogyakarta: Ombak.
Ramadhani, Sekar Rizqy Amallia, Jofel Eliezer Malonda, IKS Wira
Darma. 2017. “Krama Desa: Menaruh Asa pada Cagar Budaya”, Lomba Karya Tulis Ilmiah.
Wiguna, I Gusti Ngurah Tara. 2002. “Peran Serta
Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Cagar Budaya”, Manfaat Sumberdaya Arkeologi untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa. Denpasar:
Upada Sastra.