Pura Pegulingan terletak di desa Basangambu, Tampaksiring,
Gianyar. Bentangan alamnya merupakan dataran tinggi yang terletak di sebelah
timur Pura Tirta Empul. Alam sekitarnya merupakan area persawahan yang cukup
subur. Pura Pegulingan merupakan situs purbakala yang sudah terdaftar dalam
Cagar Budaya (Undang-Undang RI No 5 tahun 1992). Situs Pura Pegulingan
merupakan situs living monument karena hingga saat ini masih di gunakan sebagai
tempat suci oleh masyarakat disekitar situs ini.
Pura Pegulingan
memiliki 3 halaman yang masing-masing halami dibatasi tembok keliling dengan
pintu masuk pada masing-masing halaman yang berbentuk candi bentar. Halaman
tersebut yaitu Jaba Sisi (nista mandala),
Jaba Tengah (madya mandala), Jeroan
(utama mandala). Di halaman jeroan pura ini terdapat sebuah
bangunan kuno berbentuk stupa, oleh masyarakat disebut Padmasana Agung.
Pada tanggal 19 Januari
1983 dilakukan penelitian pendahuluan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Bali. Setelah dilakukan ekskavasi oleh instansi tersebut, ditemukan
pondasi bangunan (candi) yang berbentuk segi delapan. Ditemukan pula peripih
yang berisi materai tanah liat, mangkuk perunggu dan logam (emas dan perunggu).
Materai tersebut berisi mantra buddhistis yang ditulis dengan huruf Pra-Nagari
dan bahasa Sansekerta. Materai dengan enam baris kalimat yang telah dibaca oleh
Drs. M. Boechari sebagai berikut :
1. Ye
dharmā hetu prabha
2. Wa
hetuntesān tathāgata
3. Hyawadat
tesān-ca yo ni
4. Rodha
Çwamwadi ma
5. Om
ye-te shawa om krate
6. ........................ra
pramblinih..............
Artinya
:
Sang
Buddha (tathāgata) telah bersabda demikian : Dharma ialah sebab/pangkal dari
segala kejadian (segala yang ada). Dan juga Dharma itu sebab/pangkal dari
segala penghancuran penderitaan. Demikianlah ajaran (Sang Buddha) (Laporan
Studi Teknis, 1984/1985 : 45 dalam Vajrapani, 2013 : 25)
Fragmen-fragmen
bangunan stupa yang ditemukan ditempatkan dalam suatu bangunan suci.
Fragmen-fragmen itu diantaranya adalah, fragmen gana, hiasan-hiasan candi,
fragmen arca perwujudan. Selain itu ditemukan juga miniatur stupa yang
tingginya sekitar 80 cm. Arca Buddha yang ditemukan di Pura Pegulingan mungkin
berjumlah lima buah, akan tetapi pada saat dilakukan penelitian hanya ditemukan
empat buah. Dari empat buah yang ditemukan, dua diantaranya dapat diketahui
sikap tangan (mudra), yaitu dharmacakra mudra yang berkedudukan di tengah, dan
bhumisparsa mudra yang menempati arah timur. Arca Pegulingan 3 mungkin dalam
sikap tangan abhaya mudra yang menempati arah utara. Hal ini diketahui dari
pergelangan tangan kanan yang masih tersisa, dan tangan kiri dalam sikap
dhyana. Berdasarkan arca Tathagata yang ditemukan di Pura Pegulingan dapat
diperkirakan pada masa itu terdapat lima arca Tathagata (panca Tathagata) yaitu
sesuai dengan Sanghyang Kamahayanikan (Panitia Penyusun Penterjemah, 1979 :
211-214) dalam Vajrapani, 2013 : 33)
Sumber-sumber tertulis
sejauh ini yang secara langsung mengacu pada kronologis Stupa Pegulingan belum
ada. Namun dari temuan materai-materai tanah liat yang memuat mantra-mantra
Buddha dan sejumlah lempengan emas yang bertulis ye te mantra dapat diperkirakan bahwa bangunan
Stupa Pegulingan berasal dari sekitar abad 9-10 Masehi, sebagai tempat pemujaan
Agama Buddha.
Lampiran
Foto
Daftar
Pustaka
Ardika, I Wayan (dkk). 2013. Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar : Udayana
University Press
Vajrapani, Mpu Sri Dharmapala. 2013. Puja Parikrama Bauddha Kasogatan di Bali. Surabaya
: 2014
Tim Penyusun. 2002. Sejarah Awal. Jakarta : Buku Antar Bangsa untuk Grolier
Internasional.